Krisis ekonomi kembali berkecamuk di Amerika dan Eropa. Kali ini,
seperti dikatakan banyak ekonom, akan jauh lebih keras dan lebih hebat
dibanding krisis 2008 lalu. Pada September lalu, Dana Moneter
Internasional (IMF) sudah memperingatkan kemungkinan krisis finansial
global memasuki “fase lebih kritis”.
IMF sendiri membagi krisis ini dalam empat fase: (1) Dimulai dari
krisis suprime mortage pada tahun 2007 dan mengancam sistem perbankan,
(2) Krisis perbankan, dimana bank-bank melalui krisis sistemik dan
menyebar ke eropa, (3) krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan
Eropa, dan (4) krisis memasuki fase politis, dimana pemimpin-pemimpin
politik Eropa dan Amerika kesulitan mencapai konsensus untuk solusi
finansial.
Tetapi, jika menganalisa lebih dalam lagi, krisis sekarang ini tidak
semata-mata krisis finansial atau persoalan keuangan. Krisis ini sangat
mendalam dan sistemik, yang akarnya berasal dari sistim kapitalisme
global itu sendiri. Juga krisis ini tidaklah dimulai pada krisis subprime mortage tahun 2007 lalu, tetapi sudah terjadi sejak tahun 1970an.
Sejak tahun 1970 kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat
kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan
(profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam
sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan
produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas).
Harry Magdoff dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli capital dan stagnasi.
Untuk mengatasi dua krisis ini, kapitalisme mengambil dua jalan
keluar: finansialisasi dan neoliberalisme. Dengan finansialisasi,
seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat.
Dengan mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di
pasar keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa
menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, tetapi tidak pernah
menciptakan nilai baru—hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa
yang menciptakan nilai baru.
Hal itu mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi
riil. Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka
tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung
ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.
Sementara, dengan jalur neoliberalisme, kapitalis global
mempromosikan integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis,
non-kapitalis, atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi
perdagangan barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk
rintangan terhadap mobilitas modal dan investasi asing. Dengan skema
ini, mereka berharap bisa membuang kelebihan produksi negara maju di
pasar-pasar yang baru dibuka di dunia ketiga, mengurangi biaya produksi
dengan relokasi pabrik ke dunia ketiga dan praktek politik upah murah.
Tetapi, terbukti bahwa kedua jalan tersebut mengalami kegagalan,
bahkan telah membawa sistim kapitalisme global ke dalam krisis yang
lebih mendalam: bank kolaps, pemerintah menggunakan dana publik untuk
membailout bank-bank, rakyat kehilangan pekerjaan, dunia jatuh ke dalam
krisis mendalam, harga pangan dan sembako meroket, lalu letupan sosial
di berbagai tempat.
Menjawab krisis ini, para pemangku kebijakan di eropa membentangkan dua solusi temporer; penghematan atau stimulus.
Jika mengikuti skenario penghematan, seperti dianjurkan oleh lembaga
keuangan global dan coba dijalankan pemerintah AS dan eropa sekarang,
maka terjadi pembongkaran total terhadap berbagai bentuk kesejahteraan
dan sistem jaminan sosial. Kemiskinan dan pengangguran akan bertambah
luas.
Cara kedua, yakni stimulus, seperti yang dianjurkan oleh Paul
Krugman, ekonom penerima nobel itu, maka negeri-negeri kapitalis maju
dipaksa untuk mengeluarkan dana stimulus yang lebih besar guna
menggerakkan ekonomi real dan demikian terjadi “permintaan agregat”.
Dua solusi itu hanya soal waktu saja. Vijay Prashad, seorang
professor di Trinity College, Hartford, Connecticut, USA, menganggap
bahwa solusi penghematan akan membebankan krisis sepenuhnya di tangan
rakyat, sedangkan stimulus hanya akan menjadi ilusi sementara ala
Keynesian.
Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sudah tidak lagi memberi kita
gambaran masa depan. Sebagai sebuah bangsa yang punya cita-cita besar,
yaitu masyarakat adil dan makmur, kita tidak mungkin menyandarkan
pencapaian cita-cita itu kepada sebuah sistem yang sudah terbukti gagal.
Oleh karena itu, sudah waktunya bangsa Indonesia berani meninggalkan
neoliberalisme.
Lalu, apa solusinya: para pendiri bangsa sebetulnya sudah menitipkan
sebuah cara mengorganisir ekonomi yang baik dan bisa memakmurkan rakyat,
yaitu pengorganisasian ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945.
Dengan menerapkan pasal 33 UUD 1945, misalnya, maka perekonomian akan
disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Ini jelas
bertentangan dengan neoliberalisme, juga kapitalisme, yang mengharuskan
kompetisi bebas dan kemakmuran untuk segelintir orang.
Dengan pasal 33 UUD 1945 juga, cabang-cabang produksi yang penting
dan menguasai hajat hidup orang banyak bisa dikuasai negara dan
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini jelas merupakan antitesa
terhadap model ekonomi neoliberal sekarang, dimana cabang-cabang
produksi yang penting, termasuk layanan publik yang sifatnya dasar,
diserahkan kepada swasta dan menjadi objek menggali keuntungan.
Lalu, jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan, kita bisa berdaulat terhadap
kekayaan alam kita dan mempergunakannya demi kemakmuran rakyat. Selama
ini kekayaan alam hanya dikeruk oleh pihak swasta (nasional dan asing)
untuk kemakmuran mereka, sedangkan rakyat Indonesia menerima kerugian
besar berupa perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan.
Ref ://Berdikari Online
Selasa, 07 Februari 2012
Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar