Pada tahun 1929, kapitalisme global didera oleh krisis besar: krisis Malaise. Krisis
ini juga bermula di Amerika Serikat, lalu menyebar luas ke
negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia yang saat itu masih
bernama “Hindia-Belanda”.
Zaman malaise di Hindia-Belanda disebut “zaman meleset’. Seorang penulis Belanda, Mr. A.C. Vreede, yang menulis buku berjudul “Koloniale StudiĆ«n”,
menceritakan situasi saat itu sebagai berikut: “Banyak perusahaan dan
bank gulung tikar, orang kehilangan rumah dan harta benda. Kemelaratan
pun muncul di mana-mana. Pengangguran mencapai setengah dari populasi
pada tahun 1932.”
“Jaman meleset” ini dirasakan betul oleh para pendiri bangsa
(founding father) kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka tahu
betul betapa buruknya krisis kapitalisme saat itu, sehingga
mempengaruhi fikiran mereka untuk tidak mengandalkan kapitalisme untuk
membangun Indonesia merdeka.
Bung Karno menulis tentang krisis malaise itu sebagai berikut: “tahun
1929 tempo hari krisis hebat yang kita kenal di sini dengan perkataan
malaise. Kapitalisme itu punya penyakit yang inheren, artinya sudah
pembawaan daripada kapitalisme itu sendiri. Selalu kapitalisme itu akan
diganggu krisis, periodik mesti ada krisisnya.”
Bung Hatta juga banyak menulis tentang krisis malaise ini. Bung Hatta
antara lain mengemukakan pendapat begini, “peraturan kapitalisme, yang
berdasar mencari keuntungan dan merdeka berjuang, menimbulkan ombak
dalam kehidupan orang banyak, membawa perekonomian turun naik.”
Menurut Hatta, dunia tidak akan terlepas dari bahaya krisis dan
malaise yang berulang-ulang datangnya, selama kapitalisme masih
merajalela di atas dunia ini, selama tangkai penghidupan orang banyak
dan perusahaan-perusahaan yang mengenai keperluan rakyat masih di tangan
satu golongan kecil, kaum majikan.
Lebih lanjut, Bung Karno, yang banyak membaca tulisan-tulisan ekonom
Marxist seperti Rudolf Hilferding, J.A Hobson, Rosa Luxemburg, dan
Lenin, mengetahui betul bahwa kapitalisme akan selalu berteman dengan
krisis.
>>>
Pengalaman “jaman meleset” itu benar-benar membekas di ingatan Bung Karno, Bung Hatta, dan para founding father lainnya.
Pengalaman itulah, kata Samsul Hadi, seorang pengajar ekonomi politik
internasional di Universitas Indonesia (UI), telah melatar-belakangi
pemikiran para pendiri bangsa dalam menyusun sistim ekonomi untuk
Indonesia merdeka.
“Para pendiri bangsa sudah tahu betul dampak buruk dari kapitalisme
pasar bebas. Itulah mengapa peranan negara sangat kental dalam semangat
pasal 33 UUD 1945,” katanya.
Sejurus dengan Samsul Hadi, Fadli Zon, yang pernah belajar ilmu
ekonomi-politik di LSE Inggris, kehadiran pasal 33 UUD 1945 merupakan
antisipasi terhadap kegagalan model kapitalisme pasar bebas.
Katanya, pasal 33 UUD 1945 sangat sejalan dengan visi membangun
negara Indonesia merdeka, yaitu masyarakat adil dan makmur. Di dalam
pasal 33 UUD 1945 itu, yang paling diutamakan adalah sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. “Ini sangat berbeda dengan visi kapitalisme pasar
bebas”.
Selain itu, pasal 33 UUD 1945 juga sangat relevan dengan gagasan para
founding father, baik Bung Karno maupun Bung Hatta, bahwa kita
memperjuangkan sekaligus demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
“Demokrasi politik, jika tidak dilandasi demokrasi ekonomi, tidak akan
mendatangkan kesejahteraan,” ujarnya.
Pada ayat pertama, misalnya, yang berbunyi “perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Pengertian kata
“disusun”, kata Samsul Hadi, berarti bahwa perekonomian tidak boleh
diserahkan kepada mekanisme pasar.
>>>
Terkait dengan krisis global saat ini, Samsul Hadi, Fadli Zon, dan
Agus Jabo Priyono sepakat bahwa pasal 33 UUD 1945 bisa menjadi solusi
atas kegagalan kapitalisme pasar bebas.
Menurut Samsul Hadi, pasal 33 UUD 1945 mengandung dua semangat
penting yang sangat relevan untuk situasi sekarang, yaitu nasionalisme
ekonomi dan kerakyatan. Kemudian, spirit dari pasal 33 UUD 1945 juga
sangat anti-kolonialisme.
“Inti pasal 33 UUD 1945 adalah keberpihakan penuh kepada rakyat.
Apapun yang ada di atas dan terkandung dalam bumi Indonesia ini harus
digunakan untuk memakmurkan rakyat,” tegasnya.
Saat ini, ketika krisis global mulai mengamuk di Eropa dan Amerika,
sebagian negara justru beralih ke nasionalisme ekonomi. Tiongkok,
misalnya, mulai beralih kepada pasar internal dan mendorong permintaan
domestik.
Sementara itu, menurut Fadli Zon, jika pasal 33 UUD 1945
dilaksanakan—meminjam istilah orde baru—secara murni dan konsekuen, maka
bangsa Indonesia jelas akan mengarah pada kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.
Ia mengidentifikasi tiga pilar dalam pasal 33 UUD 1945: koperasi,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan campur tangan negara/ atau quasi
negara-swasta.
Koperasi adalah bentuk usaha bersama atau gotong-royongisme. Ini
terbukti masih bertahan bahkan sukses di banyak negara, seperti di
Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Perancis, dan di Afrika. “Tetapi
koperasi justru dimatikan di Indonesia, terutama sejak jaman reformasi
ini,” ungkanya.
Begitu juga dengan konsep BUMN. Ada banyak negara, kata dia, yang
sukses membangun ekonomi dengan bertumpu pada BUMN, seperti Singapura,
Rusia, dan Tiongkok. “Mestinya BUMN ini diperkuat dan diefisienkan,
bukan dijual,” kata Fadli Zon.
Ketua Umum PRD, Agus Jabo Priyono, juga mengungkapkan keyakinannya
bahwa pasal 33 UUD 1945 bisa menjadi solusi efektif terhadap krisis
kapitalisme global.
Ada beberapa nilai yang dikandung oleh pasal 33 UUD 1945: demokrasi
ekonomi, peran negara, dan nasionalisme ekonomi. “Tiga nilai ini
diyakini akan bisa mendatangkan kesejahteraan rakyat,” kata Agus Jabo.
Dengan demokrasi ekonomi, sebagaimana ditekankan pada ayat pertama,
kegiatan ekonomi dijalankan secara bersama-sama, dengan berdasarkan
prinsip kerjasama dan solidaritas. Tujuan produksi pun untuk kemakmuran
bersama.
Prinsip itu, kata Agus Jabo, tentu merupakan antitesa dari
kapitalisme yang menghendaki kompetisi bebas dan tujuan produksi untuk
menggali keuntungan. “Demokrasi ekonomi ini akan mencegah segelintir
orang menghisap orang lain,” tegas alumnus Universitas Negeri Surakarta
(UNS) Solo ini.
Selain itu, kehadiran negara dalam kegiatan perekonomian, yang juga
dirasa penting oleh banyak ekonom dunia saat ini, akan membantu
memastikan kegiatan ekonomi bisa memenuhi kebutuhan rakyat.
Agus Jabo juga menggaris-bawahi pentingnya “ekonomi berdaulat”, yakni
ekonomi yang mengutamakan kepentingan nasional dan rakyat, sebagai
jalan keluar krisis kapitalisme global saat ini. “Kita memerlukan
perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan
menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme,” ujarnya.
(Ulfa & Kusno)
Ref ://Berdikari Online
Selasa, 07 Februari 2012
Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme Global
Label: Media Bacaan
Mengenal Lebih Jauh Pasal 33 UUD 1945
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar