Beberapa hari menjelang Kongres Ibu di Jogjakarta, pada 22-25
Desember 1928, Bung Karno sempat menuliskan artikel terkait acara itu.
Tulisan itu dimuat di koran “Suluh Indonesia Muda”, yang diredakturi
oleh Bung Karno sendiri.
Di situ Bung Karno menuliskan harapannya agar gerakan wanita
Indonesia tidak sekedar menjadikan persamaan hak sebagai tujuannya,
tetapi juga harus terlibat dalam perjuangan nasional. “Bukan saja kaum
laki-laki, tetapi kaum wanita juga harus siap menghadapi gerbangnya maut
di dalam usahanya membuat natie,” kata Soekarno, yang mengutip pernyataan Sarojini Naidu, aktivis nasionalis India.
Di mata Hegel Terome, aktivis penggiat masalah perempuan di organisas
Kalyanamitra, Bung Karno adalah tokoh laki-laki yang amat sensitive dan
visioner dalam melihat kekuatan wanita dalam perjuangan nasional.
“Tidak banyak tokoh nasional laki-laki yang demikian serius
membincangkan wanita, kecuali Bung Karno,” katanya saat diskusi bertajuk
“Sarinah Hari Ini”, yang diselenggarakan oleh Berdikari Online.
Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, ketika bangsa Indonesia
masih berjuang melawan kembalinya kolonialisme, Bung Karno masih
sempat-sempatnya menggelar kursus politik untuk wanita. Kursus wanita
diselenggarakan di gedung negara Jogjakarta, dimana Bung Karno terjun
langsung sebagai pengajarnya.
Keseriusan Bung Karno makin nyata tatkala ia berjuang keras
melengkapi bahan ajaran saat ia mengajar di kursus wanita untuk menjadi
sebuah buku. Jadilah buku Sarinah itu. Buku itu sangat lengkap mengurai
persoalan-persoalan wanita, teori-teori pembebasan wanita, dan kewajiban
wanita dalam revolusi nasional.
Sri Sulistyawati, aktivis perempuan di jaman Soekarno, menjelaskan
bagaimana Bung Karno berjuang keras untuk mengajak kaum perempuan
terlibat aktif dalam perjuangan melawan neo-kolonialisme dan
imperialisme. “Saat itu, Bung Karno melihat sebagian perempuan, termasuk
istri pejabat negara, masih terikat konco-wingking.”
Peranan Bung Karno yang begitu besar itu, termasuk dengan usahanya
menyelenggarakan kursus dan menerbitkan buku, dianggap Hegel Terome
sebagai bukti bagaimana Bung Karno berusaha mengarahkan gerakan
perempuan itu dalam visi politiknya: anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme.
Di masa Bung Karnolah, menurut Hegel, gerakan perempuan dipandang
sebagai mitra dalam perjuangan nasional. Dalam relasi antara perempuan
dan negara, pada jaman itu ada pengakuan secara sah bahwa perempuan
diposisikan sama dengan laki-laki sebagai warga negara. “Itu diperlukan
untuk menyatukan kekuatan nasional untuk melawan neo-kolonialisme dan
imperialisme,” katanya.
Akan tetapi, persoalan muncul ketika Bung Karno memutuskan untuk
menikahi Hartini pada tahun 1962. Dilema muncul karena gerakan perempuan
sedang berjuang keras menentang poligami, sedangkan Bung Karno dianggap
telah melakukan poligami.
Saat itu, organisasi perempuan ada yang melakukan protes, tetapi ada
juga yang seolah-olah terdiam. Gerwani dianggap tidak bereaksi ketika
itu. Saskia Wierenga, penulis buku berjudul “Penghancuran Gerakan
Perempuan”, menganggap sikap diam Gerwani itu sebagai upaya menjaga
hubungan harmonis antara Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.
Sri Sulistyawati, yang pernah menjadi aktivis Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani), menjelaskan bahwa Gerwani punya pandangan
tersendiri soal itu. “Masalah pokok saat itu adalah melawan
imperialisme, sedangkan Bung Karno sendiri memimpin perjuangan melawan
imperialisme,” katanya.
Menurutnya, gerwani bukan diam saja, tetapi Gerwani juga menyampaikan
kritik. “tetapi kritik Gerwani disampaikan dengan cara lain. Tidak
dengan aksi massa dan galak-galakan di depan Bung Karno. Kita tidak mau
merugikan atau melemahkan perjuangan anti-imperialisme.”
Sri menganggap keputusan Bung Karno menikahi Hartini sebagai masalah
pribadi. “itu tanggung jawab pribadi. Masalahnya tidak sesederhana itu.
Perkara monogami dan poligami itu harus diatur dalam UU,” tegasnya.
Kusno
Ref : Berdiakari Online
Senin, 06 Februari 2012
Bung Karno Dan Gerakan Wanita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar