Ini bukan masalah serius saat
ini tapi mungkin menjadi masalah besar di generasi mendatang, mengingat
banyaknya makanan yang tidak diawasi dengan benar.
Nusantara bukan hanya beraneka ragam budaya dan ramainya makanan tradisi, tapi juga aneka jajanan
olah yang tak kalah menarik bagi kaum dewasa maupun anak anak. Jadi
kenapa, ada yang salah dengan kreatifitas jajanan itu? Tak ada, dan saya
pun bangga bahwa bangsa ini sebenarnya sungguh kreatif dengan
menciptakan berbagai rasa hingga membuat wisatawan ikut merasakan.
Tak Perlu Kantong Tebal
Begitulah,…. dan aku semakin betah di
negeri sendiri. Mencicipi hidangan tak perlu menguras isi dompet,
terkecuali resto itu sudah cukup terkenal dan mematok harga yang
‘sedikit’ membuat sesak nafas. Alih alih hidangan mahal, bagi kalangan
menengah & bawah memiliki selera berbeda. Anggap saja Anda memiliki
satu koin seribu rupiah, toh juga bisa mencicipi jajanan unik melalui pedagang kecil yang sering muncul di depan sekolah.
Ada banyak jajanan anak yang di racik dengan harga seribu rupiah, diantaranya Bakso bakar dan Ceker bakar(kaki
ayam yang dibakar). Aku masih belum tahu, apakah jajanan seperti ini
juga muncul di kota lainnya. Ah,… itu bukan masalah besar, yang penting
anak anak sekolah itu bisa tersenyum ketika orang tuanya hanya
memberikan satu koin seribu rupiah kepada mereka. Tapi jangan salah,
jajanan anak seperti ini juga masuk kedalam sebuah restoran yang
kabarnya harga juga berbeda menurut kualitas bakso yang diperdagangkan.
Racuni Generasi Usia Dini
Yang satu ini juga merupakan kelebihan negaraku, siapapun Anda dan apapun dagangan Anda bebas menguji di laboratrium manapun, termasuk mulutmu sendiri.
Kita bisa bayangkan dengan harga seribu
rupiah bisa memperoleh satu tusuk Bakso bakar berlapis saos yang berisi
sekitar 5 hingga 6 bakso setiap tusuknya. Semurah itu? Dan jangan tanya
aku isi jajanan itu, atau bahan makanan
yang bisa membuatnya menjadi murah. Bakso daging, saos, belum lagi
arang yang sekarang bisa di kategorikan sebagai bahan mahal semenjak
berlakunya ilegal logging.
Yang paling menyakitkan jika melihat
putra ku sendiri menjadi laboratorium mereka, sekalipun aku
melarangnya,… toh dia juga sempat sembunyi membeli jajanan anak sejenis,
aku tak akan sanggup mendampingi kemanapun dia pergi. Bagaimana anak
anak lain? Dan terakhir kali aku mendengar kabar bahwa salah satu jajanan anak itu telah membuat seorang anak berwajah biru, tetanggaku sendiri
Kemana badan pengawas kita yang katanya
bertugas mengawasi makanan dan obat obatan? Nyatanya mereka hanya
berkeliaran di seputar distributor dan pasar. Satu kesalahan bahwa end
konsumer berada di masyarakat, tapi sepertinya semua itu sudah lulus uji
lab. Ya,… coba Anda hitung berapa banyak pedagang yang menjual jajanan ‘enak’ dengan harga murah ataupun berkelas, mereka semua lulus uji di mulutmu.
Begitu mudah bangsa sendiri meracuni generasi muda
kita, mereka tak perduli hanya karena bertahan hidup layaknya rimba
belantara. Mereka tak perduli walaupun anak anak mereka duduk disana
hingga menjamu jajanan anak menjadi makanan malam keluarga. Alih alih
hemat biaya yang sebenarnya merebus telur juga sama biaya dan lebih
bergizi dibanding menyantap jajanan anak sebagai hidangan malam. Ini realitas sosial yang kita sendiri sudah terjerumus kedalamnya.
Aku tak perduli apa kata orang nanti, tapi generasi mendatang akan lebih buruk dari saat ini jikalau makanan masih bebas menggunakan mulut orang lain sebagai laboratorium mereka. Anak ku ataupun anak mu, mereka ada disana!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar