Dalam masyarakat urban kontemporer, menjadi seorang perempuan yang
ideal haruslah memenuhi beberapa kriteria. Ideal disini memiliki makna
yang holistik atau melingkupi seluruh “area” yang ada dalam diri
perempuan, yakni ideal dalam aspek raga, intelektualitas, emosi serta
kelas sosial. Namun sering kita lihat dalam realitas, idealnya perempuan
hanya dilihat dari aspek ragawi saja, sedangkan aspek-aspek lainnya
cenderung diabaikan. Seakan-akan sudah ketetapn masyarakat soal
kriteria-kriteria untuk menjadi perempuan yang ideal, namun sekali lagi
kriteria tersebut lebih banyak menilai aspek ragawi perempuan.
Kriteria “perempuan ideal” tersebut diantaranya: memiliki rambut
hitam mengkilau yang lurus dan panjang terurai, berkulit putih dan
mulus, mempunyai tinggi tubuh yang ideal serta bertubuh langsing (slim).
Salah satu dari kriteria tersebut, yakni bertubuh langsing, akan
dibahas dalam tulisan ini.
Lalu muncul pertanyaan: apakah kategorisasi perempuan ideal nan
cantik tersebut memang murni terbentuk karena adanya konstruksi budaya
dalam masyarakat yang mengidealisasikan figur perempuan seperti
demikian? Atau, adakah “kuasa-kuasa” lain yang tak terlihat dan kemudian
men-setting pencitraan perempuan seperti itu dan kemudian menghegemoni pemikiran masyarakat dengan kekuasaan yang mereka miliki?
Image bahwa “perempuan bertubuh langsing itu cantik” sebenarnya bukan
konsep netral. Pencitraan itu dikonstruksi oleh suatu sistem budaya,
yang oleh kalangan intelektual cultural studies diistilahkan
sebagai budaya pop (pop culture) atau budaya massa (mass culture).
Budaya pop diartikan sebagai budaya komersial yang diproduksi secara
massal serta bertujuan meraih keuntungan (profit).
Kasiyan, dalam bukunya yang berjudul “Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan dalam Iklan”, menjelaskan budaya pop atau budaya massa sebagai
produk budaya relatif terstandar dan homogen, seperti barang maupun
jasa serta pengalaman-pengalaman budaya yang berasosiasi dengannya yang
dirancang untuk merangsang kelompok terbesar (massa) dari populasi
masyarakat (2008:169).
Para produsen budaya pop yang menjadikan tubuh perempuan sebagai
sasaran pemasaran produk-produknya kemudian mereproduksi imaji-imaji
tentang sosok perempuan cantik yang ideal melalui iklan-iklannya, yang
salah satu imaji tersebut ialah “perempuan cantik itu bertubuh langsing”
atau “slim is beautiful”.
Produk-produk budaya pop yang membidik konsumen perempuan diantaranya
ialah produk bisnis fashion, medicine, hiburan serta audio visual
(film, majalah dan tabloid). Produk-produk ini membentuk image
tentang perempuan ideal yang kemudian dipropagandakan melalui iklan yang
dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik. Iklan-iklan
tersebut juga “menggempur” masyarakat di area-area publik, seperti jalan
raya, melalui reklame-reklame dan papan billboard.
Dalam konteks “slim is beautiful” bagi perempuan, image ini dibentuk oleh para produsen obat diet atau pelangsing tubuh serta designer
dalam dunia mode. Para produsen obat diet, baik itu berbentuk pil,
makanan suplemen, serta produk susu (semacam WRP), berusaha
mempropagandakan tubuh ideal bagi seorang perempuan: tubuh langsing
tetapi terlihat seksi. Melalui iklan dalam media massa lah hegemoni
pemikiran ini dilakukan. Iklan merupakan faktor terpenting dalam usaha
menggaet kelompok konsumen perempuan agar tergiur mengonsumsi produk
yang dipasarkan.
Oleh produsen produk pelangsing tubuh tersebut, tubuh perempuan
dikonsepsikan sebagai anugerah yang harus dirawat dan dijaga
“keindahannya” dengan tidak membuat berat atau bobotnya di atas
kewajaran. Dengan menjaga kelangsingan tubuhnya, maka seorang perempuan
akan lebih diperhatikan dan diminati laki-laki. Kaum perempuan telah
dibius, lalu dimasukkan ke dalam kuasa pengetahuan, bahwa mereka akan
lebih dihargai dan diperhatikan laki-laki ketika mereka mampu
mempertahankan kelangsingan tubuhnya.
Berbasiskan realita dalam iklan yang menampilkan kaum perempuan,
Dr.Thamrin Amal Tomagola, seorang Sosiolog UI, menemukan lima citra
perempuan dalam iklan. Salah satu citra perempuan tersebut adalah citra
pigura, yakni pendeskripsian bahwa perempuan harus tampil memikat. Ia
sebagai mahluk cantik harus menjaga kecantikannya dengan melakukan diet,
minum suplemen dan melakukan segala sesuatu untuk mencegah berat
badannya naik. Citra ini sangat lekat dengan iklan produk diet semacam
vitamin diet, susu WRP, gula yang rendah kolesterol, dan promosi
pusat-pusat kebugaran tubuh atau fitness centre.
Maka dapat disimpulkan bahwa pandangan masyarakat yang
mengasosiasikan sosok perempuan cantik dengan kelangsingan tubuh
mmerupakan hasil dari reproduksi ideologis yang dilakukan oleh
kuasa-kuasa ekonomi yang bersembunyi di balik ‘jubah’ budaya pop.
Melalui kekuasaannya atas media massa, kaum kapitalis yang memproduksi
barang dan jasa guna menyokong imajinasi “slim is beautiful” tersebut
mengendalikan pola pikir dan perilaku (behaviour) massa dan kemudian
merekonstruksi konsep kecantikan dalam masyarakat. Hal ini amat penting
dilakukan demi kesinambungan hidup kapitalis produk kecantikan, karena
yang mampu menyelamatkan mereka—dalam konteks menghasilkan laba yang
sebesar-besarnya—hanyalah konsumsi publik (kaum perempuan). Sebab,
seperti yang dikatakan oleh Ariel Heryanto, seorang pakar budaya pop,
“tanpa konsumerisme, maka kapitalisme akan mati”.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah alumnus antropologi Universitad Padjajaran (Unpand) dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang.
Ref ://Berdikari Online
Selasa, 07 Februari 2012
“Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan Kuasa Ekonomi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar