Selasa, 07 Februari 2012
Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
Pada tahun 1932, Bung Karno menulis di koran ‘Suluh Indonesia Muda’ tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, nasionalisme yang diperjuangkannya sangatlah berbeda dengan nasionalisme di eropa; dan, bentuk demokrasi yang diperjuangkannya pun berbeda dengan demokrasi ala eropa.
Soekarno menyebut nasionalisme eropa itu sebagai nasionalisme borjuis, sedangkan demokrasi di eropa dikatakannya sebagai demokrasi borjuis. Soekarno lantas mengajukan konsepsi sendiri yang terkenal: sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, sedang sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat.
Menurut Rudi Hartono, aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, fikiran sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sangat mengutamakan masyakat atau rakyat. Kelak, ketika Bung Karno semakin mematangkan fikirannya mengenai Indonesia merdeka, gagasan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini juga mempengaruhi corak ekonomi untuk Indonesia merdeka.
Versi lain menyebutkan, yang pertama sekali memunculkan istilah demokrasi ekonomi dan demokrasi politik adalah Mohammad Hatta. Dalam sebuah tulisan di Daulat Ra’jat tahun 1931, Bung Hatta menulis: “Bagi kita, rakyat yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereinteit).”
Lalu, pada tahun 1932, Bung Hatta kembali melengkapi gagasannya mengenai kedaulatan rakyat melalui tulisannya yang monumental, Ke Arah Indonesia Merdeka. Di situ Bung Hatta menulis begini: “Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat.”
Gagasan bahwa Indonesia merdeka harus mendatangkan kemajuan bagi rakyat juga ditemukan di tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya; kaum Marxist, Nasionalis, dan Agamais. Tidak heran, dalam rapat-rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan Indonesia, pidato-pidato anggota BPUPKI menyiratkan ekonomi harus dikelolah oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi anggota BPUPKI, pada 30 Mei 1945, menyampaikan pidato sangat rinci mengenai dasar perekonomian Indonesia. Risalah itu diberi judul “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka”. Bung Hatta mengatakan, “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan koperasi.”
Hatta juga mengatakan, “perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ibu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan pemerintah.”
Lalu, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, yang dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila, menyinggung pula soal demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Katanya, Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!
“Marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya,” kata Bung Karno dihadapan anggota BPUPKI.
Konon, pidato Hatta dan Bung Karno inilah yang mempengaruhi penyusunan pasal 33 UUD 1945. Meskipun baru berumur sehari, tetapi republik baru bernama Republik Indonesia ini berhasil menyelesaikan penyusunan konstitusinya: UUD 1945.
>>>
Dalam sebuah symposium di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1955, Wilopo, yang saat itu menjabat ketua Konstituante, berusaha menafsirkan pasal 33 UUD 1945.
Katanya, azas kekeluargaan dalam pasal 33 UUD 1945 berarti penentangan keras terhadap liberalisme, sebuah sistim yang, menurutnya, telah menimbulkan praktik-praktik penghisapan manusia oleh manusia, kesenjangan ekonomi, dan cenderung menekan kaum buruh.
Istilah usaha bersama, kata Wilopo, mengungkapkan buah fikiran tentang suatu usaha yang sama sekali berbeda dengan usaha swasta. “Dalam usaha swasta itu semua keputusan itu ada di tangan pengusaha dan seluruh kehidupan dan pekerjaan si pekerja ada di tangan majikan. Karena liberalisme keadaan dalam mana para pekerja umumnya dapat ditekan oleh keharusan masyarakat, maka kita menentang sistem yang demikian itu.”
Karena itu, menurut Wilopo, kegiatan ekonomi menurut pasal 33 tidak lagi mengandung logika mencari keuntungan pribadi, melainkan motif untuk mengabdi kepada masyarakat demi kebaikan bersama.
Menurut Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute for Global Justice (IGJ), pasal 33 UUD 1945 merupakan antitesa terhadap sistim kapitalisme dan sekaligus terhadap sistim komunisme.
Tetapi Daeng menggaris bawahi bahwa pasal 33 merupakan sistim ekonomi yang diambil dari tata-cara orang Indonesia sejak dahulu dalam menjalankan aktivis ekonomi, sehingga, karena itu, tidak dapat dipisahkan dari ajaran Pancasila.
“Pancasilan itu adalah fondasinya. Jadi kalau mau berbicara mengenai pengaturan ekonomi, maka mesti mengadu kepada Pancasila sebagai fondasi berbangsa dan bernegara,” tegasnya saat diskusi mengenai Filosofi Pancasila di kantor KPP-PRD, Jumat (5/7).
Sayang sekali, baik Pancasila maupun UUD 1945—khususnya pasal 33—tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen oleh pemerintahan sejak Indonesia merdeka, terutam sejak orde baru hingga sekarang ini.
Pada tahun 1979, di hari-hari terakhir, ketika memberi sambutan di ISEI, Bung Hatta menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintahan Soeharto. Bung Hatta dengan nada menyindir berkata: “Pada masa akhir-akhir ini, negara kita masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi praktek perekonomian di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang sering menyimpang dari dasar itu … Politik liberal-isme sering dipakai sebagai pedoman, berbagai barang penting bagi kehidupan rakyat tidak menjadi monopoli Pemerintah, tetapi di monopoli oleh orang-orang Cina …”
Tentu saja, jika Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup, keduanya akan sangat marah ketika melihat perekonomian kita tunduk pada azas liberalisme, bahkan liberalisme paling reaksioner: neoliberalisme.
Ulfa Ilyas
Ref ://Berdikari Online
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar