Sekjen Seknas FITRA, Yuna Farhan kepada The Globe Journal, Minggu lalu mengatakan Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat telah
melakukan somasi kepada Presiden RI, Pimpinan DPR RI, Menteri Sekretaris
Negara, Menteri Keuangan dan Pimpinan Fraksi DPR RI terkait pembelian pesawat
presiden RI. Rilis yang diterima The Globe Journal, menyebutkan bahwa
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi
“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terkait
hal tersebut bahwa perbuatan Presiden RI dan DPR RI yang menyetujui Pembelian
Pesawat Kepresidenan jenis Boing 737-800 Business jet 2 seharga kurang lebih
US$ 91 juta yang dituangkan dalam APBN, akan tetapi sumber pemasukan APBN untuk
pembelian Pesawat Kepresidenan tersebut berasal dari utang luar negeri, hal ini
jelas-jelas membebani APBN itu sendiri.
"Pelaksanaan pembelian Pesawat Kepresidenan ini juga
menggunakan anggaran multi year, artinya pelaksanaan kegiatan ini lebih dari
satu tahun anggaran berjalan," sebut Yuna Farhan.
Pembelian Pesawat Kepresidenan ini tentulah sangat tidak
efisien, karena menyewa pesawat, seperti yang selama ini dilakukan, jauh lebih
efisien daripada membeli pesawat. Hal tersebut cukuplah beralasan karena jenis
pesawat tersebut tidak dapat digunakan di landasan bandara di Indonesia karena
ukuran dan bobot yang besar.
Jika presiden menggunakan pesawat garuda, maka tidak akan
merugikan keuangan Negara karena Pesawat Garuda adalah milik Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Pengeluaran uang sewa pesawat tergantung dari frekuensi
pemakaian. Yang artinya Negara tidak perlu mengeluarkan uang lebih sepanjang
pesawat tidak digunakan. Sementara pembelian pesawat harus mengalokasikan biaya
perawatan, dalam keadaan pesawat digunakan atau tidak.
Membeli pesawat produksi Boeing, tidak menghargai produk
dalam negeri, sekaligus juga anti industri nasional, karena Negara kita
memiliki Industri strategis perakitan pesawat yakni PT. Dirgantara Indonesia.
Hal ini tentulah sangat melecehkan kemampuan-kemampuan anak
bangsa, ditengah optimisme rakyat sedang tinggi-tingginya atas prestasi yang
membanggakan terkait putra-putra terbaik SMK di Solo yang mampu merakit mobil
sebagai rintisan Mobil Nasional. Presiden, DPR dan Menteri Sekretaris Negara,
Menteri Keuangan harus bertanggung jawab atas pembelian pesawat ini, karena
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, beserta para pembantunya
(Mensesneg dan Menkeu) dalam hal ini, telah melanggar UUD 1945 karena tidak
menjalankan amanat konstitusi dengan baik dan benar, terkait pengelolaan
anggaran sesuai UUD 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan wakil dari seluruh
rakyat Indonesia haruslah memperjuangkan hak-hak konstitusi rakyat Indonesia
yang diatur dalam UUD 1945, dimana anggaran negara haruslah diperuntukkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa Persetujuan Pembelian Pesawat
Kepresidenan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI tersebut merupakan
perbuatan yang masuk dalam kategori Perbuatan Melawan Hukum Penguasa /
onrechtmatige overheidsdaad sebagaimana di atur dalam pasal 1365
KUHPerdata sehingga dapat di gugat secara Perdata dengan alasan telah
melanggar Hak Subyektif Rakyat, berupa hilangnya hak konstitusional seperti
kedaulatan rakyat atas anggaran.
Dimana, hak kedaulatan rakyat atas anggaran sudah
“diamanah” dengan wujud hak budget DPR di Parlemen. Tetapi, Hak Budget DPR ini
disalahgunakan oleh DPR untuk kepentingan yang tidak prioritas sesuai
konstitusi dan aturan perundang-undangan.
Prioritas utama
pengelolaan anggaran sesuai mandat konstitusi UUD 45 ditujukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cerminan paling menonjol dari tidak
diutamakannya prioritas pengalokasian anggaran yang seharusnya dilakukan adalah
semisal fakta yang ditemukan pada tahun anggaran 2010, anggaran kesehatan atau
fungsi kesehatan diluar gaji pegawai hanya diberikan oleh DPR sebesar 2,2% dari
total APBNP 2010. Dan Tahun anggaran 2011, anggaran kesehatan atau fungsi
kesehatan diluar gaji pegawai hanya diberikan oleh DPR sebesar 0.5% dari
total APBN 2011.
Bahwa Pembelian Pesawat Kepresidenan tidak sejalan dan
bertentangan dengan kewajiban hukum Presiden RI yang dimandatkan untuk
menyejahterakan seluruh rakyat karena perbuatan Pembelian Pesawat Kepresidenan
bertentangan dengan Inpres No 7 tahun 2010 tentang Penghematan Belanja
Kementerian/Lembaga tahun 2011; Inpres ini dikeluarkan oleh PRESIDEN RI
bertujuan agar anggaran belanja negara menjadi efisien dan efektif, akan
tetapi justru perbuatan Presiden dalam hal pembelian pesawat kepresidenan tidak
menjadi lokomotif dalam melakukan penghematan anggaran. Bahwa perbuatan DPR RI
dalam persetujuannya terkait pembelian pesawat kepresidenan tersebut telah
bertentangan dengan kewajiban hukumnya untuk menghimpun aspirasi masyarakat
demi kesejahteraan rakyat karena perbuatan pembelian pesawat kepresidenan
tersebut bertentangan dengan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
UU No.2 tahun 2008 tentang partai Politik; dan UU No.22 tahun 2003 tentang
Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Bahwa Presiden RI, Menteri Sekretaris Negara dan Menteri
Keuangan memegang kekuasaan pemerintahan dalam hal pengelolaan keuangan juga
bertanggung jawab terhadap pembelian pesawat kepresidenan yang
menghambur-hamburkan keuangan Negara.
Bahwa Partai politik di DPR RI lewat fraksi-fraksi di DPR RI
juga telah lalai melakukan tindakan-tindakan hukum sesuai dengan kewenangan
yang di miliki untuk menghentikan pembelian pesawat kepresidenan yang telah
menciderai rasa keadilan masyarakat. Bahwa Berdasarkan hal tersebut di atas,
dengan ini kami mensomir Presiden RI, Pimpinan DPR RI, Ketua, Wakil Ketua
Beserta Seluruh Anggota Badan Anggaran DPR RI, Menteri Sekretaris Negara RI,
Menteri Keuangan RI; agar dalam tenggang waktu waktu 7 X 24 Jam sejak somasi
ini di bacakan untuk melakukan tindakan-tindakan konkrit berupa membatalkan
rencana pembelian pesawat kepresidenan.
Kemudian menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh rakyat
Indonesia karena telah lalai melakukan kewajiban hukumnya sebagaimana di atur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang UU No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No.2 tahun 2008 tentang partai Politik dan UU No.22
tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Inpres No
7 tahun 2010 tentang Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga tahun 2011. Apabila
dalam tenggang waktu tersebut di atas, tidak ada itikad baik dari Presiden RI,
Pimpinan DPR RI dan Ketua dan Anggota Badan Anggaran DPR RI untuk melaksanakan
somasi ini, kami akan mengajukan upaya hukum di Pengadilan Negeri, berupa
Gugatan Warga Negara (citizen law Suit) dan juga legal Standing (Hak Gugat
Organisasi) Terhadap Presiden RI dan Pimpinan DPR RI serta Badan Anggaran DPR
RI dan pihak-pihak lain yang di anggap bertanggungjawab secara hukum.
Tim Advokasi Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat yang
berdomisili hukum di kantor Jalan Mampang Prapatan XV No. 8A RT 03/04,
Kelurahan Tegal Parang, Jakarta Selatan, yang merupakan organisasi masyarakat
dari Seknas FITRA, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS),
Prakarsa Masyarakat Untuk Negara Kesejahteraan Dan Pembangunan Alternatif
(PRAKARSA), PERKUMPULAN INISIATIF, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), yang
merupakan organisas yang concern dalam memperjuangkan anggaran untuk keadilan
dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar