Pertengahan Agustus lalu, seorang professor ekonomi dari New York
University, Nouriel Roubini, membuat pernyataan yang menggemparkan dunia
akademis saat diwawancara oleh The Wall Street Journal.
Nouriel Roubini, yang empat tahun lalu membuat prediksi yang akurat
tentang krisis global, menganggap teori Karl Marx sangat benar ketika
mengatakan bahwa “kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri”.
Pernyataan itu sangatlah menggemparkan, sebab disampaikan oleh bukan
ekonom Marxist dan itu tersampaikan di sebuah koran borjuis paling
bergengsi. Roubini pun segera dituding sebagai komunis atau setidaknya
punya simpati kepada penulis “Das Capital” itu.
Pada tahun 2005, Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times, menerbitkan sebuah buku berjudul “The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century”.
Friedman, yang mengikuti Kenichi Ohmae, memproklamasikan “gejala
pendataran dunia” menjadi satu pasar global. Ia seperti mengikuti alunan
suara Francis Fukuyama tentang “akhir sejarah”.
Pada kenyataannya: bukan alternatif kapitalisme yang berakhir, tetapi
kapitalisme itu sendiri yang terancam menjadi “sejarah”. Tiba-tiba,
pada akhir 2007 lalu, sebuah permulaan dari krisis struktural
meluluh-lantakkan ekonomi “paman sam”. Krisis itu makin menghebat pada
tahun 2008, dan malahan menyebar ke berbagai negara Eropa, seperti
Yunani, Spanyol, Portugal, Latvia, dan lain-lain.
Lalu, pada tahun 2010, IMF dan Bank Dunia mulai mengobarkan kembali
optimisme bahwa krisis sudah akan berakhir; ekonomi Amerika Serikat
mulai bangkit, lalu ekonomi global mulai tumbuh positif. Tetapi belum
kering mulut pejabat IMF dan Bank Dunia mengobarkan optimisme, tiba-tiba
krisis yang lebih besar kembali menghantam: krisis utang di Amerika
Serikat dan Uni-Eropa.
>>>
Menurut Samsul Hadi, ekonom dari Universitas Indonesia, krisis
kapitalisme global saat ini menandai kegagalan free-market. Ia, dengan
mengutip Joseph Stiglitz, ekonom peraih nobel itu, bahwa “the fall of Lehman Brothers is a fall free-market capitalism”.
Negara, yang sebelumnya dianggap biang-keladi kerusakan sistim
ekonomi, kembali dipanggil sebagai “penyelamat”. Sedangkan pasar,
khususnya pasar finansial yang dibebaskan (unregulated), dianggap sumber
masalah.
“Dengan kejadian krisis global, kita melihat pasar menjadi sumber
masalah, sedangkan negara menjadi solusi. Negara didorong memberi
paket-paket stimulus,” ujar Samsul Hadi saat menjadi pembicara dalam
diskusi “Krisis Ekonomi Global Dan Pasal 33” di Galeri Kafe, Taman
Ismail Marzuki, 12 Oktober 2011.
Bahkan, kata Samsul, ketika ekonomi dunia sudah terglobalisasi dan
terkoneksi satu sama lain, krisis ekonomi sebuah negara semakin sulit
dilokalisir. “Globalisasi atau dunia datar menjadi tidak relevan,”
katanya.
Tetapi “negara sebagai solusi” juga tidak bisa terlalu diharapkan.
Pasalnya, kata ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
ini, negara juga menjadi bagian dari masalah sebagaimana diperlihatkan
dalam krisis utang di AS dan Yunani.
Yunani, dan juga Portugal, adalah dua negara dengan defisit belanja
publik paling tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Sedangkan
pengaruh gelembung spekulasi keuangan di kedua negara itu berskala
menengah dan kecil.
Sehingga mimpi Paul Krugman untuk menjadikan negara “sebagai kuda
tunggangan” untuk memancing “permintaan agregat” terbukti bermasalah.
Apa yang dimaksud sebagai “model China” oleh Paul Krugman juga terkena
dampak krisis.
“China itu sangat bergantung kepada ekonomi ekspor. Itu juga dialami
oleh ekonomi negara seperti Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan
Eropa Timur,” tegas Samsul Hadi.
Sementara itu, Fadli Zon, salah satu pimpinan partai Gerindra,
kapitalisme sebagai sebuah ‘sistim yang gagal” sudah terjadi sejak lama.
Selain krisis ekonomi global saat ini, krisis ekonomi 1996/7 di Asia
adalah juga buah dari ‘krisis kapitalisme global’. “Krisis Asia itu juga
disebabkan oleh adanya global capital movement,” terangnya.
Saat itu, katanya, pemicu krisis tidaklah sepenuhnya karena praktek
kolusi, korupsi dan nepotisme sebagaimana disuarakan ekonom neoliberal,
tetapi sebagian besar karena krisis ekonomi global yang dipicu oleh global capital movement.
Dalam perspektif marxisme, krisis kapitalisme global saat ini
sebetulnya tanda-tandanya sudah muncul sejak tahun 1970an. kapitalisme
memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara
nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi
keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut
dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas
(over-kapasitas).
Saat itu, untuk mengatasi krisis itu, arsitektur kapitalisme global
mengajukan dua solusi: finansialisasi dan neoliberalisme. Finansialisasi
dijalankan dengan keterpisahan antara sektor finansial dan sektor real,
sehingga kapitalis mencetak keuntungan dari “kertas fiktif”. Sementara
neoliberalisme dijalankan dengan mengintegrasikan ekonomi nasional dalam
sebuah pasar global, sebagai solusi atas krisis over-produksi dan
over-akumulasi dari negeri kapitalis maju.
Sekitar 95% aktivitas ekonomi saat ini adalah bersifat financial.
Sedangkan produksi, transportasi, dan penjualan hanya menempati angka
5%. Sudah begitu, seluruh aktivitas ekonomi keuangan ini berjalan tanpa
kontrol politik dan publik, sehingga mendorong dunia dalam sebuah krisis
ekonomi yang sangat buruk.
>>>
Seperti apa dampak krisis ekonomi dunia terhadap Indonesia?
Dalam dunia yang sudah terglobalisasi dan terkoneksi satu sama lain,
krisis yang menyerang suatu negara dengan sendirinya, baik langsung
maupun tidak langsung, akan menyebrang dan mempengaruhi ekonomi negara
lain.
Apalagi jika yang krisis adalah induk kapitalisme global, yaitu
Amerika serikat dan Eropa, tentu akan membawa pengaruh di negara-negara
lain di dunia. Pendek kata, ‘jika Amerika bersin, maka bukan cuma airnya
yang terkena ke muka kita, tapi juga penyakit demamnya.’
Bagi Samsul Hadi, dampak krisis global yang sudah mulai terasa di
Indonesia adalah turunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5%.
“Itu berarti ada penurunan transaksi, ada pelarian atau penarikan modal.
Hanya saja, sektor finansial ini, jika mengacu pada data Kompas,
hanya dimasuki 311.000 pemain. Artinya, sektor ini tidak berhubungan
langsung dengan rakyat jelata.
Di mata Samsul Hadi, ancaman nyata terhadap ekonomi nasional justru
berasal dari dampak kerjasama FTA dengan China. “Sektor industri
kehilangan 20% lapangan kerja, kapasitas produksi nasional menurun 25%,”
ungkapnya.
Data Investor Daily, yang dikutip oleh Samsul Hadi, menyebutkan,
hanya empat bulan setelah FTA dengan China diberlakukan, impor mainan
anak-anak dari China meningkat 952%. Kemudian impor tekstil meningkat
menjadi 225%. Ini berarti meningkatnya kehilangan pekerjaan atau
pengangguran.
Dengan mengutip ekonom Belanda di masa lalu, Samsul Hadi menjelaskan
soal dualisme ekonomi Indonesia: (1) ekonomi yang terkoneksi dengan
kapitalisme global, dan (2) ekonomi rakyat yang subsisten.
Ini masih nampak sampai sekarang, seperti konfigurasi segelintir
orang yang sangat kaya dan bermain di pasar finansial dan 75% rakyat
Indonesia yang hidup di sektor informal. “Sektor informal ini sudah
sangat terbiasa untuk cari cara sendiri untuk hidup,” tegasnya.
Dampak lainnya adalah turunnya ekspor Indonesia, khususnya untuk
Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi, jika bercermin kepada pengalaman
krisis ekonomi 2008, dampaknya tidak terlalu terasa kepada rakyat
banyak.
Penyebabnya: penopang utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi
rakyat sebesar 57%. Artinya, kata Samsul Hadi, rakyat banyak tidak
terlalu terkena dampak krisis ekonomi global 2008.
Itulah mengapa, dalam derajat tertentu, krisis kapitalisme global
tidak serta-merta membawa dampak seketika terhadap rakyat Indonesia.
(Ulfa Ilyas & Kusno)
Ref ://Berdikari Online
Selasa, 07 Februari 2012
Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
Label: Media Bacaan
Mengenal Lebih Jauh Pasal 33 UUD 1945
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar