Google Transtools

English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Buku Tamu

Senin, 06 Februari 2012

Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sektor Kelistrikan


Pada tanggal 1 April 2012 mendatang, pemerintah akan menaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10%.  Kebijakan ini diluncurkan berbarengan dengan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak  (BBM) bersubsidi. Dan, serupa dengan alasan dibalik kebijakan pembatasan BBM  subsidi, pemerintah berdalih kenaikan TDL tahun ini bertujuan menghemat anggaran subsidi kelistrikan.
Dirjen Ketenaga listrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman  mengatakan, kenaikan TDL  sebesar  10 % tersebut untuk mengamankan alokasi subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN 2012 sebesar Rp45 triliun. Apabila kenaikan TDL tidak dilakukan, maka subsidi tahun ini akan bertambah menjadi Rp53,9 triliun (Antara News, 27/01/2012).
Sementara itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan,  apabila TDL dinaikkan tahun 2012 ini, maka hal itu akan meningkatkan  keterjangkauan seluruh rakyat Indonesia terhadap pasokan listrik  atau elektrifikasi (Investor Daily, 18/08/2011). Lebih hebat lagi argumen yang dikemukakan Wakil Menteri  ESDM Widjajano Partowidagdo berikut ini : “Kalau mau kualitas listrik naik, maka TDL juga harus naik” (Okezone,25/11/2011).
Mahalnya Bahan Bakar?
Berlandaskan alasan-alasan mulia dan klasik tersebut, pemerintah pun bertekad akan menaikkan TDL 10% per 1 April nanti. Meskipun begitu, hingga kini pemerintah masih mengkaji  dua opsi terkait implementasi kenaikan TDL. Opsi  pertama adalah  tidak memberlakukan kenaikan tarif bagi pelanggan rumah tangga dengan kapasitas 450 volt ampere (VA), sementara  seluruh pelanggan dengan voltase diatas itu akan naik 10%.  Lalu opsi kedua, pelanggan 450 VA dan 900 VA tidak naik tarif listriknya kecuali konsumsinya telah mencapai 60 Kwh . Sehingga bila pemakaian telah mencapai 60 Kwh, tariff  listrik akan naik 10% secara otomatis.
Seperti apapun pola pelaksanaannya, kenaikan TDL 10%  tetap akan berdampak bagi  perekonomian rakyat, apalagi bila berbarengan dengan pembatasan BBM bersubsidi. Tetapi tetap saja hal ini tidak  menjadi concern pemerintah. Efisiensi anggaran yang mengorbankan subsidi bagi rakyat seperti ini kelihatannya telah menjadi  ‘resep’ rutin pemerintah manakala sektor vital perekonomian didera ‘penyakit’.
Keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi listrik sebenarnya dilatar belakangi oleh mahalnya  bahan bakar bagi pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kebanyakan pembangkit listrik milik PLN, khususnya diluar pulau Jawa, menggunakan BBM yang harganya kian mahal, sesuai dengan harga minyak dunia. Ekonom UGM, Anggito Abimanyu, pun melihat mahalnya BBM sebagai keharusan bagi pemerintah untuk menaikkan TDL. Namun kalau pemerintah bisa mengganti BBM dengan gas, maka TDL tidak perlu dinaikkan karena mampu menghemat anggaran subsidi mencapai Rp18,7 triliun dalam APBN 2012 (Investor Daily, 25/08/2011).
Demikian vitalnya harga bahan bakar (BBM) dalam struktur biaya pokok penyediaan (BPP)  listrik hingga dapat menentukan ‘naik turun’ nya tarif listrik. Porsi biaya bahan bakar memang mencapai 65,2% dari BPP listrik dalam APBN 2012. Dan dari besaran porsi biaya bahan bakar tersebut, 63,9% dialokasikan untuk pembelian BBM (Laporan Keuangan PLN kuartal I 2011).
Masalahnya, pemerintah tidak pernah mencari jawaban dari problem mahalnya harga BBM di negeri yang pernah jadi pengekspor minyak ini. Mahalnya harga BBM  sebenarnya  disebabkan oleh dominasi asing atas industri minyak negeri ini. Sekitar 80% industri hulu minyak Indonesia dikuasai perusahaan asing yang berorientasi profit dan tidak peduli pada keterjangkauan harga untuk kebutuhan domestik, termasuk bagi PLN.
Dominasi asing ini bertambah ‘ganas’ setelah  pemerintah melelang 15 blok minyak dan gas (migas) kepada  10 perusahaan asing akhir tahun lalu (Warta Ekonomi, 9-22 Januari 2012). 15 blok migas tersebut memiliki  kapasitas produksi 1,15 miliar standar kubik per hari gas alam serta 35.200  barel minyak bumi per hari. Seluruh sumber daya  itu dapat digunakan bagi pembangkit listrik PLN dengan harga murah bila dikelola negara, tetapi justru ‘dilempar’ ke pihak asing yang pasti memasang harga lebih tinggi bagi PLN.
Sesungguhnya, pemerintah juga  tidak berdiam diri dalam situasi ini. Seperti yang dikatakan Wamen ESDM Widjajano, pemerintah berusaha keras agar seluruh  pembangkit listrik milik PLN mendapatkan pasokan energi non-BBM yang lebih murah, seperti gas dan batubara (Okezone, 25/11/2011). Solusi yang tepat, apalagi Indonesia juga kaya akan gas alam dan batubara. Namun, lagi-lagi, bila kita meninjau pengelolaan kedua natural resources tersebut, maka akan didapati situasi yang tak jauh berbeda dengan pengelolaan industri minyak.
Saat ini, 90%  industri gas alam Indonesia dikelola oleh enam perusahaan asing  (International Energy Agency, 2008). Dan yang lebih  membuat miris, 52% dari produksi 9 juta kaki kubik gas alam per hari ditujukan bagi pasar internasional alias diekspor. Hanya 48% yang dialokasikan bagi kebutuhan domestik. Itupun harus dibagi-bagi lagi diantara beberapa stake holder seperti industri swasta nasional, produsen LPG, PLN dan sebagainya.
Hal serupa dapat kita lihat juga dari industri batubara. Dominasi peran swasta nasional  yang profit oriented dalam industri batubara (71%) menyebabkan terjadinya ekspor ‘ugal-ugalan’ komoditi batubara Indonesia. Data Kementerian ESDM memperlihatkan, dari total produksi batubara nasional pada semester pertama tahun lalu  yang mencapai 150 juta ton, sekitar 121 juta ton atau 80% dari total produki  diekpor ke luar negeri. Sementara pengusaha batubara hanya diwajibkan menyuplai 35% hasil produksinya untuk kebutuhan domestik, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No.34/2009.
Fakta-fakta itu memperlihatkan bila negara ini tidak memiliki kedaulatan energi. Hal inilah yang menjadi akar permasalah penyediaan listrik bagi kebutuhan rakyat. Dan, solusinya bukanlah pencabutan atau pengurangan subsidi, melainkan menegosiasi ulang seluruh kontrak migas yang merugikan negara, hingga akhirnya tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan nasional. Demikian juga dalam sektor industri batubara: negara harus mengambil peran dominan dalam pengelolaan maupun alokasi komoditi yang lebih berpihak pada kebutuhan domestik dengan harga yang efisien.
Liberalisasi Kelistrikan
Disisi lain, banyak pihak menilai, kebijakan pengurangan subsidi kelistrikan ini tidak semata-mata disebabkan oleh tingginya biaya bahan bakar. Kebijakan ini sebenarnya juga telah ditunggangi oleh pihak yang pro-liberalisasi kelistrikan. Mengapa? Karena dengan mengurangi subsidi listrik secara perlahan, hal itu akan membuat TDL di negeri ini menuju ‘harga ke-ekonomi-an atau harga pasar’.
Bila tarif  listrik telah sesuai dengan harga pasar, maka para investor swasta atau asing akan berminat bergerak di sektor  kelistrikan. Apalagi liberalisasi ini telah diberikan peluang oleh Undang-undang (UU) Ketenagalistrikan No.30/2009.
Upaya liberalisasi kelistrikan di negeri ini punya ‘cerita’ sendiri. Awalnya, sektor kelistrikan di negeri ini diatur dalam UU  No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang dibuat pada masa Orde Baru. Berdasarkan UU tersebut, PLN ditetapkan sebagai satu-satunya pemegang usaha kuasa ketenagalistrikan (PKUK) di Indonesia. Maka PLN menjadi pihak yang memegang hak monopoli dalam penyediaan listrik bagi kebutuhan publik.
UU No.15/1985 sebenarnya juga telah memberikan peluang bagi swasta untuk berkiprah dalam sektor kelistrikan. Namun kiprah swasta disini sebatas membangun pembangkit listrik yang listriknya harus dijual hanya kepada PLN selaku pembeli tunggal (Single Buyer). Pihak swasta inilah yang kemudian dikenal sebagai Independence Power Producer (IPP).  Sementara, dibagian hilirnya, PLN tetap menjadi satu-satunya pihak yang berhak menyediakan listrik bagi masyarakat berikut dengan tarif yang ditentukan pemerintah.
Hak monopoli yang dipegang PLN selama masa Orde Baru ternyata membuat pihak asing gusar. Mereka menginginkan sektor kelistrikan Indonesia terbuka bagi ekspansi modal asing. Bersamaan dengan momentum krisis Asia 1997, International Monetary Fund (IMF) pun datang dengan ‘resep’ ekonominya yang tertuang dalam Letter of Intent (LOI) untuk ‘menolong’ Indonesia. Dan salah satu resep itu, seperti yang tertuang dalam butir 20 LOI, adalah liberalisasi sektor ketenagalistrikan dengan mencabut hak monopoli PLN. Inilah awal dari era liberalisasi kelistrikan di negeri ini.
Di era reformasi, pemerintah dan parlemen mengesahkan UU No.20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. UU ini merupakan produk hukum pertama yang melikuidasi hak monopoli PLN. Dalam UU ini, pihak swasta benar-benar diberi peluang untuk menguasai industri ketenagalistrikan dari hulu ke hilir.
Sistem pengelolaan ketenagalistrikan yang selama ini dimonopoli PLN dengan sedikit partisipasi pihak swasta di level pembangkit dirombak dalam UU No.20/2002. Swasta pun diberi kesempatan tidak hanya sebagai pengelola pembangkit, namun juga menjadi penyedia kebutuhan listrik masyarakat. Dan sejak saat itu pula pemerintah sering menaikkan TDL guna menarik minat investor berkecimpung disektor kelistrikan Indonesia.
Liberalisasi ini sempat terbendung ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No.20/2002 dalam judicial review yang diajukan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditahun 2004. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Tahun 2009, mayoritas fraksi di DPR (kecuali fraksi PDIP) menyepakati pengesahan UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
UU yang baru ini serupa dengan UU No.20/2002, yakni membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk menjadi penyedia layanan listrik masyarakat. UU inilah yang menjadi landasan hukum pengelolaan listrik Indonesia hingga kini.
Satu hal yang penting untuk diketahui adalah liberalisasi sektor hilir ketenagalistrikan memiliki efek yang berbeda dengan liberalisasi hilir migas. Dengan adanya liberalisasi ini, jaringan retail listrik yang selama ini telah terintegrasi secara sistematis oleh PLN akan dikuasai  pihak swasta yang berhasil memenangkan kompetisi. Pola penguasaannya pun monopolistik, sama seperti yang selama ini dilakukan PLN. Akibatnya, tarif listrik juga akan ditentukan oleh ‘penguasa’ baru sektor kelistrikan tersebut.
Jadi, berbeda dengan liberalisasi hilir migas yang memberikan kebebasan bagi konsumen untuk memilih produk perusahaan asing yang lebih murah, liberalisasi kelistrikan takkan pernah memberikan kebebasan semacam itu. Hal ini karena para ‘pemain’ swasta itu diberi peluang berbisnis dengan cara menguasai infrastruktur kelistrikan yang telah dibangun PLN selama ini. Bukannya dengan mendirikan infrastruktur baru guna menandingi PLN, seperti halnya perusahaan migas asing yang mendirikan pom bensin sendiri untuk menandingi pom bensin Pertamina.
Dalam konteks liberalisasi kelistrikan yang semacam itulah, pemerintah memutuskan kenaikan TDL tahun ini diberlakukan. Kebijakan yang disebabkan oleh  tingginya biaya bahan bakar (yang juga disebabkan liberalisasi energi)  itu juga tiada lain berfungsi untuk menarik minat investor agar turut berbisnis disektor ketenagalistrikan.
Kebijakan kenaikan TDL, seperti halnya pembatasan BBM bersubsidi, merupakan buah dari sistem neo-liberalisme yang telah merasuk demikian jauh dalam berbagai sektor dinegeri ini.  Sudah seharusnya pemerintah lebih patuh pada amanat Pasal 33 UUD 1945 dibandingkan  ‘manut’ pada   sistem yang,  menurut Hugo Chavez, akan membawa kita menuju ‘neraka’.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader  Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)  Cabang Sumedang dan saat ini sedang bekerja di media berita tambang dan energi, Petromindo.com*)
*) Tulisan ini adalah opini pribadi penulis

Ref : www.berdikarionline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INGIN DOMAIN GRATIS 100% , -.COM-.NET-.ORG

INGIN DOMAIN GRATIS 100% , -.COM-.NET-.ORG
Syarat Cuman Menambahkan Teman/Pengguna (REFER FRIENDS) minimal 9 pengguna Max. 16 Pengguna.

Arsip Blog