Pada bulan Juli 2011 lalu, warga Makassar tiba-tiba menjerit: harga
air bersih mendadak naik hingga 100% lebih. Rakyat pun sangat terbebani
dengan kenaikan mendadak dan sepihak itu.
“Dulunya, saya hanya membayar Rp30-40 ribu. Tetapi sekarang
diharuskan membayar Rp90-100 ribu,” kata Firdaus, salah seorang warga
yang juga aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).
Situasi itu tak pelak begitu memukul rakyat Makassar. Mereka
diharuskan mengeluarkan uang lebih besar untuk urusan air. Dan, jika
tidak ada peningkatan pendapatan, maka itu berarti pengurangan pada pos
belanja yang lain.
Dampak kenaikan juga dialami oleh lembaga publik. Sejumlah Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) di Makassar mengeluhkan naiknya tariff air bersih.
Katanya, tariff yang dulunya cuma Rp0,360 per liter naik menjadi Rp4,210
per liter. Artinya, kenaikannya mencapai 1108%.
Kenaikan saat ini barulah tahap pertama. Rencananya, kenaikan tariff
ini akan berlangsung beberapa tahap hingga 2014. Tahap pertama dimulai
pada Juli 2011 lalu dengan kenaikan 25%. Lalu, ada lagi kenaikan pada
2012 dengan 10%, dan kemudian kenaikan pada 2013 sebesar 15%.
Sebelumnya, pada tahun 2006, PDAM Makassar sudah pernah menaikkan tariff secara signifikan: dari Rp1000 menjadi Rp2750.
Bastian Lubis, yang saat itu menjadi Badan Pengawas PDAM, menganggap
kenaikan itu sudah menutupi kebutuhan cost –recovery dan membayar utang
kepada Jakarta (Menteri Keuangan, pen). Bahkan, kata Bastian, ada
keuntungan Rp400 rupiah dalam setiap meter-kubik.
Tetapi, Walikota Makassar saat itu, Ilham Arief Siradjuddin, malah
berfikiran untuk melakukan swastanisasi. Bastian Lubis saat itu menolak
keras rencana Walikota tersebut. “Kita harus melihat untung-ruginya jika
memaksakan privatisasi. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata
Bastian.
Dalam hitungan Bastian saat itu, jika perusahaan plat merah ini
bekerjasama dengan swasta, maka akan terjadi kekurangan dana sebesar
Rp33 milyar. Karena kuatnya kritik, maka dibentuklah tim independen
untuk menginvestigasi hal itu. Hasilnya: Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menganggap kerjasama tersebut berpotensi merugikan
PDAM dalam 20 tahun kedepan dan membebani pelanggan dengan kenaikan
tariff.
Tetapi Walikota dan Direksi tutup telinga. Pada tahun 2007, PDAM
makasar tetap melakukan kerjasama dengan PT. Traya. Akhirnya, akibat
kerjasama dengan pihak swasta tersebut, PDAM terus-menerus mengalami
kerugian.
“PDAM sebenarnya mensubsidi pihak swasta (PT. Traya) sekitar Rp2,2 milyar pertahun,” kata Bastian Lubis.
Akhirnya, untuk menutupi kerugian itu dan sekaligus mensubsidi
swasta, maka PDAM pun ngotot menaikkan tariff sebesar Rp3800/m3. “Inilah
yang menjadi keresahan seluruh warga Makassar,” katanya.
>>>
Pengelolaan air di Makassar sudah diswastanisasi. Gagasan
swastanisasi ini sebetulnya sudah muncul lama. Ilham Arief Siradjuddin,
walikota Makassar saat ini, adalah orang yang paling “ngotot” melakukan
swastanisasi ini.
Menurut Ilham, swastanisasi akan menguntungkan PDAM, meski akan
terjadi kenaikan tarif air, khususnya bagi golongan konsumtif. Rencana
ini akan dimulai dengan menswastakan semua instalasi pengolahan air
(IPA).
Tetapi Ilham salah besar. Swastanisasi telah menyebabkan kenaikan
tariff air PDAM secara gila-gilaan. Konon, tariff air bersih di Makassar
termasuk tertinggi di Indonesia, bahkan dunia. Kata Bastian Lubis,
tariff air di kota Makassar lebih tinggi dari tiga kota terbesar di
Indonesia; Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
“Jika harga yang ditawarkan PT Palyja dianggap termahal di dunia, maka Makassar lebih mahal lagi,” ujar Bastian.
Cerita buruk mengenai dampak privatisasi air tidak hanya terjadi di
Makassar. Kejadian buruk serupa juga dialami oleh kota-kota lain yang
menjalankan privatisasi.
Di Jakarta, pemerintah mulai melakukan privatisasi air sejak tahun
1998. Alasannya: perbaikan kualitas layanan air bersih bagi warga.
Karenanya, PDAM Jakarta lalu menandatangani kerjasama dengan dua
perusahaan swasta: Suez Environnement (Perancis) dan Thames Water (Inggris). Kerjasama itu berlangsung hingga 2023 (25 tahun).
Dalam kerjasama itu tercantum hak swasta untuk mendapatkan bayaran
atas jasanya menyediakan layanan air. Pembayaran tersebut dilakukan
melalui sistem yang disebut imbalan air (water charge). Karena adanya
pembayaran imbalan air ini, maka pelanggan air bersih di Jakarta pun
dikenakan harga yang lebih tinggi.
Dalam prakteknya, imbalan air selalu naik setiap enam bulan sekali.
Ini pula yang menyebabkan selalu ada tuntutan kenaikan tarif setiap enam
bulan, supaya sejalan dengan kenaikan imbalan air.
Lalu, jika kita perhatikan kerjasama dengan pihak swasta itu,
dampaknya pada perbaikan layanan dan perluasan jaringan belum juga
berhasil. Hingga akhir tahun 2008, jumlah operator baru mencapai 63%,
dan itu berarti masih ada 37% masyarakat DKI yang belum menikmati air
bersih. Sementara laporan BPS Jakarta menyebutkan, layanan perpipaan air
di Jakarta baru mencapai 24,18%. Hasil riset Kesehatan Dasar 2010
Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 18,3 persen warga Jakarta yang
memiliki sambungan air perpipaan terlindungi. Sedangkan, sekitar 90
persen lebih air tanah di Jakarta mengandung bakteri E-coli.
Manila juga punya kisah pilu dengan privatisasi air. Alih-alih
memperbaiki manajemen dan kualitas layanan, privatisasi air di Manila
justru membawa Ibukota Philipina itu dalam “jebakan utang” kepada
lembaga keuangan internasional.
Sejak bekerjasama dengan pihak swasta, kualitas layanan air bersih di
Makassar tidak juga membaik. Air PDAM tetap tidak bisa digunakan
langsung untuk minum. Selain itu, berita mengenai tersendatnya air PAM
tidak pernah berhenti.
Daripada menaikkan tariff, ada baiknya PDAM mengantisipasi berbagai
kebocoran. Kerugian PDAM Makassar akibat pencurian air maupun kebocoran
pipa mencapai Rp191,01 miliar, dengan rata-rata kehilangan stok air
sebanyak 160 kubik per hari.
Selain kebocoran pipa, kata Bastian, PDAM juga harus mengantisipasi
soal kemungkinan banyaknya kebocoran uang, sehingga PDAM terus-menerus
mengaku mengalami kerugian.
>>>
Kenaikan tariff air bersih di Makassar pun melahirkan perlawanan.
Rakyat banyak pun mulai resah. Sebuah protes terpendam bisa memicu
sebuah perlawanan berskala luas.
Gerakan perlawanan sudah dimulai oleh kaum miskin dari Serikat Rakyat
Miskin Indonesia (SRMI). Organisasi rakyat ini sudah berkali-kali
menggelar aksi protes, tapi belum mendapat respon pemerintah. “Rakyat
miskin merupakan korban terparah dari kebijakan privatisasi ini. Mereka
akan sangat terbebani. Tidak ada pilihan selain melakukan perlawanan,”
kata Wahida, ketua SRMI Sulsel.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga tidak tinggal diam. PRD, yang
secara tegas bersikap anti-neoliberal, akan berada di garis depan untuk
menolak kebijakan privatisasi air itu. “PRD bersama SRMI, LMND, FNPBI,
dan Jaker akan melakukan perlawanan,” ujar Babra Kamal, ketua PRD
Sulsel.
PRD sendiri sedang menggelorakan sebuah gerakan yang disebut “Gerakan
Nasional Pasal 33″. Inti sari gerakan itu adalah pengembalian seluruh
kekayaan alam dan cabang produksi ke tangan rakyat. Karenanya, gerakan
ini pun akan melawan habis-habisan segala bentuk privatisasi, apalagi
privatisasi perusahaan air minum.
Bastian juga berencana melakukan perlawanan. Mantan Badan Pengawas PDAM Makassar ini akan mengajukan class action. “Kami akan mengorganisir warga yang tidak setuju dengan kebijakan ini untuk melakukan class action,” katanya.
Partai Gerindra pun sudah mengeluarkan sikap tegas: menolak kenaikan
tariff PDAM. Ahmad Bustanul, kader Gerindra di DPRD Kota Makassar,
menganggap kebijakan itu akan sangat membebani rakyat banyak.
“Sedikitnya 90% konsumen PDAM di Makassar adalah rumah tangga,” katanya.
Ulfa Ilyas
Ref ://Berdikari Online
Selasa, 07 Februari 2012
Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar