Google Transtools

English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Buku Tamu

Tampilkan postingan dengan label Realitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Realitas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Februari 2012

Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan

Seorang anak bertanya pada Ibunya, kapan waktunya memakai sandal? Hanya ketika jalanmu dialas karpet dan gunakan sandal jepit.
Sederhana,… tapi anak anak ini memang tak pernah menggunakan sandal dan hanya digunakan pada saat acara resmi. Tak heran kalau sandal jepit bisa awet hinggu 4 tahun lebih. Ini hanya sepenggal cerita tentang anak anak yang mungkin sudah menjadi tetangga kalian.

Bukan Mencuri Sandal

Si Mbok pernah bercerita padaku bahwa anak anak seusianya dahulu tak pernah menggunakan sandal tapi bukan berjalan di atas aspal saat siang hari. Tapi dua bocah ini merasa sangat nyaman berjalan di terik matahari seharian. Menurut mereka sandal hanya akan mempersulit gerak, tak bebas, bahkan sulit berlari.
Tak semua anak anak pemulung berkelakuan baik, ada yang mempunyai tabiat buruk seperti mengambil barang yang belum waktunya dibuang, atau nekat memasuki pagar orang lain. Sebut saja namanya Rudi, sepulang sekolah langsung membawa karung yang berusaha membantu orang tuanya mencukupi kebutuhan hidup. Aku bukan bicara soal kejahatan ketika seorang anak mencuri sandal, padahal kalaupun dilakukan hanya untuk digunakan sendiri karena memang tak memiliki.


Banyak cerita yang dilalui, pernah melompati pagar karena kejaran anjing pemilik rumah hingga ‘burungnya’ mengalami nasib tragis satu jahitan. Ya, hanya karena mencuri sandal, tapi nafsu anak anak merasa ingin secepatnya memperoleh barang yang di inginkan. Belum lagi kalau mereka berpapasan dengan pemulung dewasa, sepertinya harus merelakan barang apapun yang diambil. Dari pengalaman ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk melepaskan sandal, bukannya tak ingin memakai tapi memang merepotkan ketika melarikan diri.
Rudi, termasuk siswa yang paling sering mengotori lantai sekolah karena tak menggunakan alas kaki. Bukan hanya dia, tapi beberapa siswa di pinggiran ternyata masih tak menggunakan sandal. Bukan karena terbiasa, tapi memang tak memiliki sepatu dan itupun harus berjuang sendiri membeli berbagai peralatan sekolah. Kok bisa?… Padahal dana pemerintah untuk membantu mereka bersekolah telah dikucurkan tapi kita masih melihat realitas sosial seperti ini. Permasalahannya bukan pada dana, tapi uang itu digunakan untuk keperluan lain. Begitulah kehidupan kelas bawah yang terpaksa memotong kepentingan lain hanya untuk sesuap nasi.

Maksudmu Uluran Tangan?

Ah,… aku berfikir kalau sekarang disetiap sudut jalan mengaharapkan uluran tangan dan merasa bosan harus mengeluarkan recehan setiap beberapa langkah. Maksudku,… apakah mereka benar-benar tak mampu hingga harus mengeluarkan koin di kantongku? Ini hanya pertanyaan besar yang sulit dijawab, dan sebenarnya aku tak mampu membedakan aktor diantara mereka.
Tak harus dengan koin, seperti anak anak pemulung ini yang bisa dibantu tanpa mengeluarkan sepeserpun dari kantong kalian. Memberikan beberapa kaleng minuman bekas sudah cukup membantu, apalagi anak anak seperti Rudi cukup banyak jumlahnya dan punya persaingan tersendiri.
Aku pernah memikirkan satu hal, kalau saja anak anak pemulung itu berhasil mengumpulkan uang, apakah mereka nantinya membeli sepatu & sandal atau….. malah disalah gunakan orang tuanya.

Mulut Mu, Laboratorium Ku

Ini bukan masalah serius saat ini tapi mungkin menjadi masalah besar di generasi mendatang, mengingat banyaknya makanan yang tidak diawasi dengan benar.
Nusantara bukan hanya beraneka ragam budaya dan ramainya makanan tradisi, tapi juga aneka jajanan olah yang tak kalah menarik bagi kaum dewasa maupun anak anak. Jadi kenapa, ada yang salah dengan kreatifitas jajanan itu? Tak ada, dan saya pun bangga bahwa bangsa ini sebenarnya sungguh kreatif dengan menciptakan berbagai rasa hingga membuat wisatawan ikut merasakan.

Tak Perlu Kantong Tebal

Begitulah,…. dan aku semakin betah di negeri sendiri. Mencicipi hidangan tak perlu menguras isi dompet, terkecuali resto itu sudah cukup terkenal dan mematok harga yang ‘sedikit’ membuat sesak nafas. Alih alih hidangan mahal, bagi kalangan menengah & bawah memiliki selera berbeda. Anggap saja Anda memiliki satu koin seribu rupiah, toh juga bisa mencicipi jajanan unik melalui pedagang kecil yang sering muncul di depan sekolah.
Ada banyak jajanan anak yang di racik dengan harga seribu rupiah, diantaranya Bakso bakar dan Ceker bakar(kaki ayam yang dibakar). Aku masih belum tahu, apakah jajanan seperti ini juga muncul di kota lainnya. Ah,… itu bukan masalah besar, yang penting anak anak sekolah itu bisa tersenyum ketika orang tuanya hanya memberikan satu koin seribu rupiah kepada mereka. Tapi jangan salah, jajanan anak seperti ini juga masuk kedalam sebuah restoran yang kabarnya harga juga berbeda menurut kualitas bakso yang diperdagangkan.


Racuni Generasi Usia Dini

Yang satu ini juga merupakan kelebihan negaraku, siapapun Anda dan apapun dagangan Anda bebas menguji di laboratrium manapun, termasuk mulutmu sendiri.
Kita bisa bayangkan dengan harga seribu rupiah bisa memperoleh satu tusuk Bakso bakar berlapis saos yang berisi sekitar 5 hingga 6 bakso setiap tusuknya. Semurah itu? Dan jangan tanya aku isi jajanan itu, atau bahan makanan yang bisa membuatnya menjadi murah. Bakso daging, saos, belum lagi arang yang sekarang bisa di kategorikan sebagai bahan mahal semenjak berlakunya ilegal logging.
Yang paling menyakitkan jika melihat putra ku sendiri menjadi laboratorium mereka, sekalipun aku melarangnya,… toh dia juga sempat sembunyi membeli jajanan anak sejenis, aku tak akan sanggup mendampingi kemanapun dia pergi. Bagaimana anak anak lain? Dan terakhir kali aku mendengar kabar bahwa salah satu jajanan anak itu telah membuat seorang anak berwajah biru, tetanggaku sendiri :(
Kemana badan pengawas kita yang katanya bertugas mengawasi makanan dan obat obatan? Nyatanya mereka hanya berkeliaran di seputar distributor dan pasar. Satu kesalahan bahwa end konsumer berada di masyarakat, tapi sepertinya semua itu sudah lulus uji lab. Ya,… coba Anda hitung berapa banyak pedagang yang menjual jajanan ‘enak’ dengan harga murah ataupun berkelas, mereka semua lulus uji di mulutmu.
Begitu mudah bangsa sendiri meracuni generasi muda kita, mereka tak perduli hanya karena bertahan hidup layaknya rimba belantara. Mereka tak perduli walaupun anak anak mereka duduk disana hingga menjamu jajanan anak menjadi makanan malam keluarga. Alih alih hemat biaya yang sebenarnya merebus telur juga sama biaya dan lebih bergizi dibanding menyantap jajanan anak sebagai hidangan malam. Ini realitas sosial yang kita sendiri sudah terjerumus kedalamnya.
Aku tak perduli apa kata orang nanti, tapi generasi mendatang akan lebih buruk dari saat ini jikalau makanan masih bebas menggunakan mulut orang lain sebagai laboratorium mereka. Anak ku ataupun anak mu, mereka ada disana!

Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….

Ketika petugas kebersihan harus berebut sampah dengan Pemulung dan Pencari Makanan Ternak di pagi hari, akur walaupun hanya berbagi sampah.
Tak seperti pembagian sembako yang riuh dengan keributan dan kerusuhan didalamnya, tak sedikit yang jatuh bangun demi memperoleh sembako gratis. Pagi hari,… dimana kesibukan kota berlangsung dan kita akan melihat petugas kebersihan berbagi sampah dengan pemulung.

Sampah Lebih Berguna Dibanding Sepiring Sarapan

Aku pernah bertanya kepada seorang pemulung yang mengangkut sampah melalui becak, mereka sarapan setelah selesai berbagi sampah dengan petugas kebersihan. Dan itu lebih berharga daripada sepiring nasi yang dilahap menjelang makan siang.

Jawaban yang sederhana, tapi begitu menyentuh ketika mendengar masih banyak warga negara ini yang masih menunda sarapan demi sesuap nasi esok hari. Tak beda dengan petugas kebersihan yang juga ikut memilah sampah berharga nantinya. Begitupun masih banyak orang yang membuang sisa makanan yang sebenarnya masih layak di konsumsi. Bukannya aku kasihan terhadap pemulung dan petugas kebersihan itu, tapi setidaknya sampah kotor dan menjijikkan bisa dikurangi.
Berfikir,… kenapa orang lain sanggup tak sarapan dan kita sibuk bergegas membuang sisa makanan di pagi hari.
Ada tiga pelaku yang ikut membersihkan sampah di pagi hari, pemulung, petugas kebersihan, dan pencari makanan ternak. Ya,… makanan ternak sejenis ‘Babi’ yang di beri makanan sisa dari tong sampah. Mereka berbagi sampah hingga akhirnya pemulung membawa sampah daur ulang, dan petugas kebersihan membawa sisa-sisa sampah organik yang tidak terbawa si pencari makanan ternak.
Banyak orang yang menganggap bahwa pengelolaan sampah menjadi salah satu masalah besar, tapi sebenarnya semua itu bisa teratasi dan menghindari semakin besarnya TPS. Maksudku begini, si pemulung mengambil sampah daur ulang, si peternak mengambil sampah sisa makanan, dan tentunya yang tersisa akan dibawa petugas kebersihan (sebagian besar hanya berisi sampah organik yang bisa di olah menjadi pupuk). Aku hanya membayangkan ketika ketiga pelaku ini bekerjasama dalam pengelolaan sampah maka TPS tak membutuhkan tempat yang cukup besar, bukan? Pada akhirnya, TPS hanya menampung sampah (limbah) kimia yang memang
tak bisa
sulit di daur ulang.
Berfikir,… kenapa pemulung, petugas kebersihan dan pencari makanan ternak cukup cerdas dalam pengolahan sampah, padahal mereka tak sarapan. Kamu,…. apa yang sudah dilakukan usai sarapan???

Rabu, 22 Februari 2012

Anak Jalanan Aset Negara-?

Anak jalanan, sebutan bagi pengamen ataupun pengemis yang meresahkan pengendara, dan sebagian orang menyebut pedagang lampu merah sebagai salah satu bagian dari mereka. “Apa yang berbeda? Pedagang terkadang berbuat sedikit memaksa kepada pengendara yang akhirnya menimbulkan argumen bahwa mereka tak jauh beda dengan anak jalanan lainnya.”
Kami hidup diantara aspal dan polusi kenderaan, jalanan telah membuka peluang kepada kami untuk meningkatkan nilai pajak.
Bukan kenyataan pahit tapi mungkin bagi mereka hanya sebuah lantunan hati ketika berdagang dibawah terik matahari. Dunia ini tak sesempit daun kelor, menurut mereka dunia ini lebih sempit dari apa yang kau fikirkan. Dan aku pun bingung, apakah hidup hanya untuk makan atau menikmati hidup hingga usiamu mati?

Aku Aset Negara

Menyebut dirinya sebagai pedagang nakal, artinya kita hanya memandang sebelah mata. Rani, sebutan bagi dirinya yang bermandikan keringat demi menghabiskan koran dagangan. Jangan sebut ‘Rani’ saat membicarakan tentang dirinya, dia lebih suka di sebut ‘She’ berusia 16 tahun, rajin menabung, akrab dengan aspal. Sekilas She adalah contoh dimana cercaan melanda anak jalan, tapi dengan niat yang tulus bahwa berdagang bukan dengan unsur pemaksaan. Menabung adalah salah satu harapan agar cita citanya menjadi seorang engineers dapat terlaksana.

Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras

Berapa banyak rakyat kita yang memiliki pendapatan dibawah rata-rata? Ada lebih dari setengah jumlah penduduk kita sekarang yang memiliki pendapatan kecil. Apa pantas kita menyebut mereka pemalas? Atau memang gusti Allah belum membuka pintu rezeki bagi mereka.
Pemalas, sebagian dari mereka yang sukses menyebut orang-orang ini sebagai pemalas yang kurang giat dalam bekerja. Kalau saya balik bertanya ketika Anda gagal mendapatkan jabatan penting “Anda kurang berusaha, jangan menjadi pemalas”, pantaskah pertanyaan ini? Sama halnya ketika kita mengatakan mereka seorang yang pemalas, padahal sebenarnya mereka bekerja lebih dari delapan jam, melebihi jam kerja karyawan kantor. Ini yang disebut pemalas?

Profesi Mereka Bukan Pemalas


Pria ini seorang penarik becak bermotor yang selalu menunggu disimpang jalan. Bagi mereka yang melihatnya berpendapat bahwa dia hanya sekedar duduk dan menunggu penumpang datang, kenapa tidak berkeliling dan mencari? Alasannya mungkin karena irit bahan bakar atau menunggu pelanggan yang sudah menjadi tumpangan sehari hari. Tapi mereka bekerja mulai dari matahari terbit hingga hampir tengah malam, dan terkadang makan siang terlewatkan. Inikah yang disebut pemalas?


Pemuda ini mulai menajajakan dagangannya saat usai makan siang hingga tengah malam, artinya dia bekerja lebih dari sepuluh jam setiap hari di kaki lima.

Apapun kondisi cuaca saat itu tidak membuat pemuda ini menyerah dan dagangan tetap harus berjalan. Sesekali saya bertanya “Apakah saya sanggup jika menjalani pekerjaan ini?” Tentunya kita tak pantas menyebut mereka sebagai seorang pemalas.
Lalu, kepada siapa kata ‘pemalas’ pantas kita ucapkan?

INGIN DOMAIN GRATIS 100% , -.COM-.NET-.ORG

INGIN DOMAIN GRATIS 100% , -.COM-.NET-.ORG
Syarat Cuman Menambahkan Teman/Pengguna (REFER FRIENDS) minimal 9 pengguna Max. 16 Pengguna.

Arsip Blog