Tampilkan postingan dengan label EDITORIAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label EDITORIAL. Tampilkan semua postingan
Rabu, 15 Februari 2012
Kesucian Terusik Batu yang Menangis
Penduduk Rammang Rammang menyebutnya Bulu' Barakka'. Nama itu dalam
bahasa Bugis berarti gunung yang penuh berkah. Di sana ditemukan sumber
mata air. Penduduk bercocok tanam di sawah yang terhampar di bawah
kakinya. Mata air itu mengairi sawah penduduk.
Lokasinya tepat berhadapan dengan
permukiman penduduk. Menjulang ketinggian sekira 700 meter di atas
permukaan laut (mdpl) luasnya sekira 40 hektare, Bulu Barakka menjadi
salah satu menara dari perbukitan batu kapur di kawasan Rammang Rammang.
Dari jauh, Bulu' Barakka' terlihat seperti menara dengan permukaan
batuan kapur dengan vegetasi beragam.
Label: Media Bacaan
EDITORIAL,
Feodal,
Kapitalis,
natural,
Neoliberalisme
Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
Desakan pembubaran Organisasi Masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) kian bergulir. Namun, FPI menganggap desakan penolakan tersebut hanyalah ulah segelintir orang yang memang tak menginginkan keberadaan FPI.
"Siapa yang mau bubarin FPI? Masyarakat yang mana? Apa masyarakat yang 20 orang doang?" kata Ketua FPI Jakarta Habib Salim Alatas kepada okezone, Rabu (15/2/2012) malam.
Habib yang dikenal dengan panggilan Habib Selon ini malah menuding, kelompok liberal-lah yang ingin menggulirkan kabar ini. Menurutnya, kelompok liberal ini merasa terancam dengan idealisme FPI yang ingin menegakkan hukum Islam. "FPI kan enggak mau liberalisme ada di Indonesia, ada di NKRI. Ini orang-orang liberal, mereka yang menolak FPI," tegasnya.
Sejauh ini, kata Habib Selon, pihaknya menanggapi desakan penolakan itu dengan santai dan legowo. "Kita sih santai aja, FPI nggak merasa dikecil-kecilin, enggak merasa digede-gedein," katanya.
Lebih lanjut, Habib Selon mengatakan bila FPI dibubarkan, maka partai politik pun juga bisa dibubarkan “Kalau FPI dibubarkan gara-gara anarkis, terus itu anggota partai politik yang anarkis waktu pilkada, anggota partai politik yang pakai narkoba, kenapa enggak dibubarin?" tanyanya.
Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
Kapolri, Jenderal Timur Pradopo menyatakanpolisi telah menerima dana puluhan juta dollar dari PT Freeport. Aliran dana tersebut pun mengundang sejumlah tanda tanya besar di kalangan masyarakat.
Lantas untuk apa penggunaan dana tersebut? Dan apa latar belakang pemberian duit tersebut?
Berikut petikan wawancara dengan Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Mabes Polri Kombes (Pol) Boy Rafli Amar.
Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk operasi pengamanan di Papua selama satu tahun?
Itu perlu data. Data khusus. Ini spesifik di kawasan Freeport Indonesia, Beda lho, ini kawasan Freeport Indonesia yang hanya sebagian besar dari wilayah Papua yang 3,5 kali Pulau Jawa. Dana untuk Papua itu lain lagi, itu di cover APBN. Di APBN yang diberikan pada Polda Papua. Jadi, APBN Polda Papua itu, untuk mengcover seluruh wilayah Papua dan Papua Barat yang luasnya 3,5 kali Pulau jawa.
Tapi bicara dana itu kan hanya bicara di kawasan Freeport. yang saya katakan tadi, kontur tanahnya, faktor Geogfrafisnya, kemudian faktor cuaca yang tidak bisa dengan hanya mengandalkan perlengkapan yang kita beli. Termasuk kendaraan patroli harus 4.000 cc ke atas. Kalau dengan 4x2 itu tergelincir, tidak bisa naik.
Apakah ada kontrak khusus antara Polri dengan Freeport?
Itu dengan Polda Papua. Yang dilaporkan pada Mabes itu adalah nota kesepahaman di mana uang itu sifatnya adalah dana dukungan sukarela dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas.
Jadi secara institusi bukan perorangan?
Bukan
Untuk apa penggunaan uang tersebut? Apakah untuk lauk pauk?
Nah, itu yang diberikan pada anggota, untuk tambahan. Untuk mengatasi kebutuhan anggota yang tidak pulang. Ini kan rotasinya empat bulan sekali. Kemudian juga tidak ketemu keluarga dan sebagainya. Tentu wajar harus dibekali dengan insentif yang diperlukan untuk keperluan di luar yang sudah ada di situ.
Coba kalau Rp1,2 juta dibagi 30 hari saja, berarti Rp40 ribu satu hari. Uang saku untuk warung saja belum tentu ada di sana. Dia mau ke warung saja, mesti turun. Dari kawasan Mile 74 misalkan, yang dia tugas di kawasan sana dekat Gresberg itu harus turun ke bawah 2,5 jam untuk bisa membelanjakan uangnya itu.
Polisi yang di sana itu bekerja harus membawa bekal, berapa hari dia di atas dalam konteks menghadapi kondisi cuaca yang seperti itu. Jadi ini kondisi yang tidak biasa. Jadi uang saku atau insentif itu adalah uang yang diberikan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas dengan kondisi yang demikian itu.
Dana Itu goodwill dari Freeport atau sebelumnya ada inisatif dari pihak Polri maupun anggota yang di lapangan?
Tidak ada. Semua berdasarkan assesment ancaman. Ini kan yang melakukan Mabes Polri dengan Polda Papua, yah pada level pimpinan, dilihat kebutuhan sekian, jumlah personel sekian, peralatannya sekian. Bagaimanapun kita belum dapat sepenuhnya memberikan dukungan perlengkapan yang diperlukan oleh setiap individu termasuk sarana mobil patroli itu.
Freeport perusahaan swasta internasional yang memang memiliki kemampuan dan membutuhkan kehadiran petugas kita dalam rangka pelaksanaan hankamtibnas di lokasi itu, tidak keberatan untuk menyiapkan itu. Kalau tidak percaya silakan saja tanyakan.
Sejak awal Freeport berdiri?
Yang jelas ini berdasarkan Kepres tentang objek vital nasional.
Nilainya berapa per tahun?
Saya tidak tahu angkanya, akan ditelusuri oleh tim kita. Artinya ini sedang dicari tahu berapa kebutuhan uang saku yang diberikan kepada 600-an sekian anggota yang masuk dalam satgas pengamanannya. Nanti kita harapkan ketemu angkanya. Yang jelas yang diterima oleh anggota kita tidak ada lagi, hanya uang saku itu.
Sedangkan yang lainnya, yang mencapai USD14 juta itu info yang kita terima sementara ini adalah untuk kebutuhan-kebutuan yang sifatnya adalah sarana dan prasarana. Semuanya untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas keamanan, yang tidak diterima dalam bentuk uang, tapi fasilitas barang itu.
Fasilitas seperti apa?
Jaket, Sepatu di musim dingin, kemudian perlengkapan-perlengkapan perorangan, termasuk mobil patroli. Yang ditembak itu bisa dilihat mobil itu beda jenisnya. Helikopter enggak ada, mereka punya sendiri. Artinya, heli itu bisa digunakan oleh petugas. tetapi mereka punya kerjasama dengan perusahan penerbangan.
Dana itu melalui Mabes, Polda atau siapa ?
Selama ini yang berjalan antara Polda Papua dan Freeport.
Lantas, bagaimana dengan independensi Polri?
Begini, Polri bekerja dengan prinsip-prinsip profesionalisme. Jadi Polri pro pada kebenaran. Pro kepada nilai-nilai hukum, jadi itu landasan kerja. Bukan karena dapat uang saku, terus kemudian ada keberpihakan. Yang jelas, ini kan dalam rangka hankamtibnas. Jadi kalau konteksnya keberpihakan, keberpihakan untuk apa? Sekarang perselisihan antar karyawan, tentu diselesaikan dengan mekanisme yang ada. Tentu mekanismenya bipartite dan tripartit dengan mengikutsertakan unsur pemerintah. Para pekerja harus sadar tidak boleh melakukan anarki untuk memperoleh hak-haknya itu. Dialog, komunikasi sehingga negosiasi yang dimintakan itu mencapai angka yang diharapkan, kalau tidak tercapai jangan marah-marah, tidak boleh memaksakan kehendak. Jadi jangan sampai nanti terjadi anarkisme, kemudian merugikan kepentingan umum dan merugikan masyarakat yang tidak terkait dengan masalah ini.
Apakah selama APBN belum bisa memenuhi, Polri akan tetap menerima dana dari Freeport?
Kita akan kaji ulang. Pak Kapolri akan melihat bagaimana kepentingannya terkait masalah ini. Terus kemudian kita ini punya kewajiban untuk melakukan langkah-langkah pengamanan, apalagi ketika ancamannya itu belum bisa diatasi oleh pengamanan dalam.
Kalau pengamanan dalam sudah mampu mengatasi ancaman seperti itu, Polri mungkin enggak perlu lagi. Tetapi yang jelas Polri memiliki kewajiban karena ini adalah perusahaan swasta internasional yang juga bekerjasama, punya kontrak karya dengan pemerintah dan ini diatur dengan peraturan. Ada keputusan presiden nomor 63 tahun 2004, yang mengatur tentang pengamanan objek vital nasional. Di mana, itu dipertanggungjawabkan kepada polri.
Sementara, untuk mengalokasikan dana yang besar, itu akan membuat ketidakseimbangan dalam pelayanan kepolisian di seluruh indonesia.
Apakah Tim Internal yang akan menyelidiki uang tersebut sudah sampai di Papua?
Yang saya dengar sudah. Tim ini bukan hanya dengan polda papua saja tetapi juga dengan PT Freeport. Anggotanya saya belum dapat nama-namanya dari unsur Inspektorat Pengawan Umum dan badan pemeliharaan Keamanan (Baharkam)
Masa kerja tim tersebut berapa lama?
Tentu secepatnya. Pada prinsipnya kan ini pekerjaan untuk mencari informasi yang lebih real. Targetnya tentu untuk mengungkap adanya kejelasan. Pak kapolri juga berjanji untuk menyampaikan konsep akuntabilitasnya tentang info dana itu.
Oleh karena itu, tim ini untuk mencari tahu bagaimana mekanisme yang berjalan, berapa yang diberikan kepada anggota kita, dan juga yg dikaitkan dengan kebutuhan sarana itu. Kebutuhan itu tidak dilakukan Polri, tidak dilakukan Polda Papua. Artinya dilakukan Freeport sendiri. Saya memberi kesempatan kepada media untuk mencari tahu juga, tanya benar atau enggak, bagaimana mekanismenya. Itu silakan saja.
Apakah selain bantuan dalam bentuk sarana prasarana, ada juga dalam bentuk uang tunai dari Freeport?
Kepada anggota di lapangan. Dari surat perintah (seprin) terakhir, dulu kan ada sekitar 800 kemudian ada penurunan jadi sekitar 630an. Ini lah nanti yang mekanismenya kita lihat
Apakah ada perwira yang menerima dana tersebut?
Sepengetahuan saya komandan-komandanya dari unsur bintara dan perwira. Maksudnya itu semua, tidak semuanya bintara yang bekerja. Ada unsur-unsur pimpinan lapangan, ada unsure kepada unit yang mendapatkan tugas dalam surat perintah itu. Keppres kan tidak mengatur dana di dalamnya.
Polri juga enggak mengatur masalah itu. Ini bagaimana?
Ini kan solusi antara Freeport dengan Polda Papua di dalam menghadapi kendala yang dihadapi petugas kita. Jadi sementara yang berjalan seperti itu. Tetapi harus dipahami tujuan pemberian insentif atau uang saku atau sarana itu adalah pada prinsipnya agar pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di kawasan objek vital tersebut yang memiliki karakteristik ancama khas dapat berjalan dengan baik. Tujuannya hanya itu, enggak ada yang lain.
Tidak takut dituduh Gratifikasi?
Kita lihat dong parameter gratifikasi itu apa, kan ada aturannya. Ini untuk kepentingan tugas. Maksudnya ini untuk mendukung agar prajurit Bhayangkara kita di sana dapat bekerja secara efektif. Tujuannya kan dalam rangka pelaksanaan tugas. Tugas itu didasarkan pada Undang-Undang.
Terakhir, Apakah bila APBN memenuhi kebutuhan Polisi di Papua, pemberian dana itu akan dihentikan?
Oo, sangat bagus itu.
Label: Media Bacaan
Dialog,
EDITORIAL,
Money politik,
OPINI
Selasa, 07 Februari 2012
Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
Pada tanggal 22 Juli yg lalu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) meluncurkan sebuah gerakan yang diberi-nama ‘Gerakan Pasal 33’. Gerakan
ini akan diluncurkan secara nasional dan akan berlangsung di beberapa
kota, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, Lampung, Kendari,
dan lain-lain.
Gerakan ini sangat patut didukung. Terlepas dari gerakan mana yang memulai menciptakan inisiatif ini, tetapi gerakan ini sangat penting dalam konteks perjuangan anti-imperialisme di Indonesia saat ini. Ada beberapa alasan mengapa Berdikari Online mengajak pembaca untuk mendukung gerakan ini.
Pertama, kita sedang berada dalam situasi ketidakpastian, bahkan mengarah pada sebuah masa depan suram. Hal itu disebabkan oleh penghianatan para penyelenggara negara terhadap tujuan nasional kita, sebagaimana tercantum dalam pembukaan (preambule) UUD 1945.
Nah, gerakan pasal hendak mengingatkan atau meluruskan tujuan berbangsa kita pada cita-cita revolusi agustus 1945 dan gagasan para pendiri bangsa. Meski berbicara revolusi agustus 1945 dan UUD 1945, tetapi gerakan ini bukanlah gerakan romantik belaka. Justru, karena cita-cita revolusi nasional 17 Agustus 1945 itu belum tuntas sampai sekarang, maka gerakan ini bermaksud menuntaskannya. Gerakan ini bermaksud melanjutkan cita-cita revolusi nasional, yaitu menghapuskan kolonialisme dan imperialisme, sebagai jalan menuju masyarakat adil dan makmur.
Kedua, kita sedang berada dalam situasi dimana para penyelenggara negara telah mengadopsi faham liberalisme ekonomi. Faham itu telah membuka pintu bagi masuknya proyek imperialisme di seluruh pelosok tanah air. Hampir seluruh kekayaan alam bangsa kita telah dirampok dan diangkut untuk kemakmuran segelintir korporasi di negeri-negeri imperialis.
‘Gerakan pasal 33’ punya cita-cita mulia untuk mengembalikan fondasi perekonomian kita yang asli, yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dan jiwa revolusi nasional kita, yaitu: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketiga, dalam perjuangan menghadapi imperialisme saat ini, kendati semakin banyak yang menyadari arti-penting perjuangan ini, tetapi belum ada sebuah platform politik yang mengikat seluruh barisan kaum anti-imperialis.
‘Gerakan pasal 33’ ini berupaya menampilkan sebuah platform politik untuk memperhebat atau menajamkan perjuangan anti-imperialisme, yaitu semangat Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen. Jika kita pelajari dengan sebaik-baiknya, maka akan diketahui bahwa pasal 33 UUD 1945 punya roh anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang sangat kuat.
Dengan demikian, gerakan pasal 33 bukanlah milik atau gerakan sebuah kelompok atau organisasi politik, melainkan milik dan gerakannya seluruh rakyat Indonesia dalam melawan imperialisme. Gerakan pasal 33 ini mengharuskan adanya sebuah persatuan nasional, yang meliputi seluruh kekuatan nasional anti-imperialis dan korban-korban penjajahan imperialisme, sebagai syarat mutlak untuk memenangkan perjuangan melawan imperialisme.
Berdikari Online, sebagai media yang terang memihak pada perjuangan anti-imperialisme, secara terang-terangan mendukung ‘gerakan pasal 33’ ini. Kami pun menganjurkan kepada para pembaca semua untuk menjadi bagian paling aktif dari perjuangan ini. Nasib dan masa depan bangsa kita ada di tangan kita sendiri: Apakah kita mau menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran dan kemudian memajukannya, ataukah kita sudah pasrah menjadi ‘bangsa kuli diantara bangsa-bangsa’.
Ref ://Berdikari Online
Gerakan ini sangat patut didukung. Terlepas dari gerakan mana yang memulai menciptakan inisiatif ini, tetapi gerakan ini sangat penting dalam konteks perjuangan anti-imperialisme di Indonesia saat ini. Ada beberapa alasan mengapa Berdikari Online mengajak pembaca untuk mendukung gerakan ini.
Pertama, kita sedang berada dalam situasi ketidakpastian, bahkan mengarah pada sebuah masa depan suram. Hal itu disebabkan oleh penghianatan para penyelenggara negara terhadap tujuan nasional kita, sebagaimana tercantum dalam pembukaan (preambule) UUD 1945.
Nah, gerakan pasal hendak mengingatkan atau meluruskan tujuan berbangsa kita pada cita-cita revolusi agustus 1945 dan gagasan para pendiri bangsa. Meski berbicara revolusi agustus 1945 dan UUD 1945, tetapi gerakan ini bukanlah gerakan romantik belaka. Justru, karena cita-cita revolusi nasional 17 Agustus 1945 itu belum tuntas sampai sekarang, maka gerakan ini bermaksud menuntaskannya. Gerakan ini bermaksud melanjutkan cita-cita revolusi nasional, yaitu menghapuskan kolonialisme dan imperialisme, sebagai jalan menuju masyarakat adil dan makmur.
Kedua, kita sedang berada dalam situasi dimana para penyelenggara negara telah mengadopsi faham liberalisme ekonomi. Faham itu telah membuka pintu bagi masuknya proyek imperialisme di seluruh pelosok tanah air. Hampir seluruh kekayaan alam bangsa kita telah dirampok dan diangkut untuk kemakmuran segelintir korporasi di negeri-negeri imperialis.
‘Gerakan pasal 33’ punya cita-cita mulia untuk mengembalikan fondasi perekonomian kita yang asli, yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dan jiwa revolusi nasional kita, yaitu: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketiga, dalam perjuangan menghadapi imperialisme saat ini, kendati semakin banyak yang menyadari arti-penting perjuangan ini, tetapi belum ada sebuah platform politik yang mengikat seluruh barisan kaum anti-imperialis.
‘Gerakan pasal 33’ ini berupaya menampilkan sebuah platform politik untuk memperhebat atau menajamkan perjuangan anti-imperialisme, yaitu semangat Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen. Jika kita pelajari dengan sebaik-baiknya, maka akan diketahui bahwa pasal 33 UUD 1945 punya roh anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang sangat kuat.
Dengan demikian, gerakan pasal 33 bukanlah milik atau gerakan sebuah kelompok atau organisasi politik, melainkan milik dan gerakannya seluruh rakyat Indonesia dalam melawan imperialisme. Gerakan pasal 33 ini mengharuskan adanya sebuah persatuan nasional, yang meliputi seluruh kekuatan nasional anti-imperialis dan korban-korban penjajahan imperialisme, sebagai syarat mutlak untuk memenangkan perjuangan melawan imperialisme.
Berdikari Online, sebagai media yang terang memihak pada perjuangan anti-imperialisme, secara terang-terangan mendukung ‘gerakan pasal 33’ ini. Kami pun menganjurkan kepada para pembaca semua untuk menjadi bagian paling aktif dari perjuangan ini. Nasib dan masa depan bangsa kita ada di tangan kita sendiri: Apakah kita mau menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran dan kemudian memajukannya, ataukah kita sudah pasrah menjadi ‘bangsa kuli diantara bangsa-bangsa’.
Ref ://Berdikari Online
Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945
Krisis ekonomi kembali berkecamuk di Amerika dan Eropa. Kali ini,
seperti dikatakan banyak ekonom, akan jauh lebih keras dan lebih hebat
dibanding krisis 2008 lalu. Pada September lalu, Dana Moneter
Internasional (IMF) sudah memperingatkan kemungkinan krisis finansial
global memasuki “fase lebih kritis”.
IMF sendiri membagi krisis ini dalam empat fase: (1) Dimulai dari krisis suprime mortage pada tahun 2007 dan mengancam sistem perbankan, (2) Krisis perbankan, dimana bank-bank melalui krisis sistemik dan menyebar ke eropa, (3) krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, dan (4) krisis memasuki fase politis, dimana pemimpin-pemimpin politik Eropa dan Amerika kesulitan mencapai konsensus untuk solusi finansial.
Tetapi, jika menganalisa lebih dalam lagi, krisis sekarang ini tidak semata-mata krisis finansial atau persoalan keuangan. Krisis ini sangat mendalam dan sistemik, yang akarnya berasal dari sistim kapitalisme global itu sendiri. Juga krisis ini tidaklah dimulai pada krisis subprime mortage tahun 2007 lalu, tetapi sudah terjadi sejak tahun 1970an.
Sejak tahun 1970 kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas). Harry Magdoff dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli capital dan stagnasi.
Untuk mengatasi dua krisis ini, kapitalisme mengambil dua jalan keluar: finansialisasi dan neoliberalisme. Dengan finansialisasi, seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, tetapi tidak pernah menciptakan nilai baru—hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru.
Hal itu mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil. Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.
Sementara, dengan jalur neoliberalisme, kapitalis global mempromosikan integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis, atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap mobilitas modal dan investasi asing. Dengan skema ini, mereka berharap bisa membuang kelebihan produksi negara maju di pasar-pasar yang baru dibuka di dunia ketiga, mengurangi biaya produksi dengan relokasi pabrik ke dunia ketiga dan praktek politik upah murah.
Tetapi, terbukti bahwa kedua jalan tersebut mengalami kegagalan, bahkan telah membawa sistim kapitalisme global ke dalam krisis yang lebih mendalam: bank kolaps, pemerintah menggunakan dana publik untuk membailout bank-bank, rakyat kehilangan pekerjaan, dunia jatuh ke dalam krisis mendalam, harga pangan dan sembako meroket, lalu letupan sosial di berbagai tempat.
Menjawab krisis ini, para pemangku kebijakan di eropa membentangkan dua solusi temporer; penghematan atau stimulus. Jika mengikuti skenario penghematan, seperti dianjurkan oleh lembaga keuangan global dan coba dijalankan pemerintah AS dan eropa sekarang, maka terjadi pembongkaran total terhadap berbagai bentuk kesejahteraan dan sistem jaminan sosial. Kemiskinan dan pengangguran akan bertambah luas.
Cara kedua, yakni stimulus, seperti yang dianjurkan oleh Paul Krugman, ekonom penerima nobel itu, maka negeri-negeri kapitalis maju dipaksa untuk mengeluarkan dana stimulus yang lebih besar guna menggerakkan ekonomi real dan demikian terjadi “permintaan agregat”.
Dua solusi itu hanya soal waktu saja. Vijay Prashad, seorang professor di Trinity College, Hartford, Connecticut, USA, menganggap bahwa solusi penghematan akan membebankan krisis sepenuhnya di tangan rakyat, sedangkan stimulus hanya akan menjadi ilusi sementara ala Keynesian.
Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sudah tidak lagi memberi kita gambaran masa depan. Sebagai sebuah bangsa yang punya cita-cita besar, yaitu masyarakat adil dan makmur, kita tidak mungkin menyandarkan pencapaian cita-cita itu kepada sebuah sistem yang sudah terbukti gagal. Oleh karena itu, sudah waktunya bangsa Indonesia berani meninggalkan neoliberalisme.
Lalu, apa solusinya: para pendiri bangsa sebetulnya sudah menitipkan sebuah cara mengorganisir ekonomi yang baik dan bisa memakmurkan rakyat, yaitu pengorganisasian ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945.
Dengan menerapkan pasal 33 UUD 1945, misalnya, maka perekonomian akan disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Ini jelas bertentangan dengan neoliberalisme, juga kapitalisme, yang mengharuskan kompetisi bebas dan kemakmuran untuk segelintir orang.
Dengan pasal 33 UUD 1945 juga, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak bisa dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini jelas merupakan antitesa terhadap model ekonomi neoliberal sekarang, dimana cabang-cabang produksi yang penting, termasuk layanan publik yang sifatnya dasar, diserahkan kepada swasta dan menjadi objek menggali keuntungan.
Lalu, jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan, kita bisa berdaulat terhadap kekayaan alam kita dan mempergunakannya demi kemakmuran rakyat. Selama ini kekayaan alam hanya dikeruk oleh pihak swasta (nasional dan asing) untuk kemakmuran mereka, sedangkan rakyat Indonesia menerima kerugian besar berupa perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan.
Ref ://Berdikari Online
IMF sendiri membagi krisis ini dalam empat fase: (1) Dimulai dari krisis suprime mortage pada tahun 2007 dan mengancam sistem perbankan, (2) Krisis perbankan, dimana bank-bank melalui krisis sistemik dan menyebar ke eropa, (3) krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, dan (4) krisis memasuki fase politis, dimana pemimpin-pemimpin politik Eropa dan Amerika kesulitan mencapai konsensus untuk solusi finansial.
Tetapi, jika menganalisa lebih dalam lagi, krisis sekarang ini tidak semata-mata krisis finansial atau persoalan keuangan. Krisis ini sangat mendalam dan sistemik, yang akarnya berasal dari sistim kapitalisme global itu sendiri. Juga krisis ini tidaklah dimulai pada krisis subprime mortage tahun 2007 lalu, tetapi sudah terjadi sejak tahun 1970an.
Sejak tahun 1970 kapitalisme memasuki krisis mendalam akibat kontradiksi internalnya, yaitu antara nafsu penciptaan keuntungan (profit) dari proses produksi dan realisasi keuntungan (profit) dalam sirkulasi dan distribusi. Ini sering disebut dengan krisis kelebihan produksi (over-produksi) dan kelebihan kapasitas (over-kapasitas). Harry Magdoff dan Paul Sweezy, dua ekonom marxist di Monthly Review, menganalisis krisis keuangan aspek tak terpisahkan antara kecenderungan monopoli capital dan stagnasi.
Untuk mengatasi dua krisis ini, kapitalisme mengambil dua jalan keluar: finansialisasi dan neoliberalisme. Dengan finansialisasi, seorang kapitalis dapat melipatgandakan keuntungan dalam waktu singkat. Dengan mengklik mouse komputer, anda dapat memindahkan miliaran dolar di pasar keuangan di seluruh dunia. Persoalannya, model ini memang bisa menciptakan keuntungan dalam hitungan detik, tetapi tidak pernah menciptakan nilai baru—hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru.
Hal itu mendorong keterpisahan antara sistem finansial dan ekonomi riil. Karena finansialisasi sangat tergantung pada aksi spekulatif, maka tidak mengherankan kalau sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, dari krisis ke krisis.
Sementara, dengan jalur neoliberalisme, kapitalis global mempromosikan integrasi ekonomi global ke negeri-negeri semi-kapitalis, non-kapitalis, atau pra-kapitalis. Ini dilakukan melalui liberalisasi perdagangan barang dan jasa, dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap mobilitas modal dan investasi asing. Dengan skema ini, mereka berharap bisa membuang kelebihan produksi negara maju di pasar-pasar yang baru dibuka di dunia ketiga, mengurangi biaya produksi dengan relokasi pabrik ke dunia ketiga dan praktek politik upah murah.
Tetapi, terbukti bahwa kedua jalan tersebut mengalami kegagalan, bahkan telah membawa sistim kapitalisme global ke dalam krisis yang lebih mendalam: bank kolaps, pemerintah menggunakan dana publik untuk membailout bank-bank, rakyat kehilangan pekerjaan, dunia jatuh ke dalam krisis mendalam, harga pangan dan sembako meroket, lalu letupan sosial di berbagai tempat.
Menjawab krisis ini, para pemangku kebijakan di eropa membentangkan dua solusi temporer; penghematan atau stimulus. Jika mengikuti skenario penghematan, seperti dianjurkan oleh lembaga keuangan global dan coba dijalankan pemerintah AS dan eropa sekarang, maka terjadi pembongkaran total terhadap berbagai bentuk kesejahteraan dan sistem jaminan sosial. Kemiskinan dan pengangguran akan bertambah luas.
Cara kedua, yakni stimulus, seperti yang dianjurkan oleh Paul Krugman, ekonom penerima nobel itu, maka negeri-negeri kapitalis maju dipaksa untuk mengeluarkan dana stimulus yang lebih besar guna menggerakkan ekonomi real dan demikian terjadi “permintaan agregat”.
Dua solusi itu hanya soal waktu saja. Vijay Prashad, seorang professor di Trinity College, Hartford, Connecticut, USA, menganggap bahwa solusi penghematan akan membebankan krisis sepenuhnya di tangan rakyat, sedangkan stimulus hanya akan menjadi ilusi sementara ala Keynesian.
Neoliberalisme, bahkan kapitalisme, sudah tidak lagi memberi kita gambaran masa depan. Sebagai sebuah bangsa yang punya cita-cita besar, yaitu masyarakat adil dan makmur, kita tidak mungkin menyandarkan pencapaian cita-cita itu kepada sebuah sistem yang sudah terbukti gagal. Oleh karena itu, sudah waktunya bangsa Indonesia berani meninggalkan neoliberalisme.
Lalu, apa solusinya: para pendiri bangsa sebetulnya sudah menitipkan sebuah cara mengorganisir ekonomi yang baik dan bisa memakmurkan rakyat, yaitu pengorganisasian ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945.
Dengan menerapkan pasal 33 UUD 1945, misalnya, maka perekonomian akan disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Ini jelas bertentangan dengan neoliberalisme, juga kapitalisme, yang mengharuskan kompetisi bebas dan kemakmuran untuk segelintir orang.
Dengan pasal 33 UUD 1945 juga, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak bisa dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini jelas merupakan antitesa terhadap model ekonomi neoliberal sekarang, dimana cabang-cabang produksi yang penting, termasuk layanan publik yang sifatnya dasar, diserahkan kepada swasta dan menjadi objek menggali keuntungan.
Lalu, jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan, kita bisa berdaulat terhadap kekayaan alam kita dan mempergunakannya demi kemakmuran rakyat. Selama ini kekayaan alam hanya dikeruk oleh pihak swasta (nasional dan asing) untuk kemakmuran mereka, sedangkan rakyat Indonesia menerima kerugian besar berupa perampasan tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan.
Ref ://Berdikari Online
Senin, 06 Februari 2012
Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
Akhirnya, setelah cukup lama menggelinding tidak jelas, kasus korupsi wisma atlet mulai menyeret aktor-aktor utamanya. Pada 3 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang petinggi partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka.
Di jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter, gebrakan KPK tersebut mengundang apresiasi banyak orang. Maklum, pejabat KPK sebelum periode sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus korupsi di sarang penguasa: istana dan partai demokrat.
Gairah anti-korupsi pun muncul kembali. Iklan anti-korupsi partai demokrat, yang juga melibatkan Angelina dan Anas Urbaningrum sebagai aktornya, jadi ‘bulan-bulanan’ kecaman warga Facebook. Bagi sebagian orang, dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan banyak orang Demokrat, bahkan kemungkinan menyeret Ketua Umumnya Anas Urbaningrum, jualan SBY tentang anti-korupsi sudah tidak laku lagi.
Pada tahun 2009 lalu, ketika dua petinggi KPK hendak dikriminalkan oleh Polisi, muncul gerakan sosial anti-korupsi yang cukup kuat di jejaring sosial. Di facebook, misalnya, dukungan terhadap gerakan ini mencapai jutaan orang/pengguna. Lalu, dalam kasus Prita Mulyasari, dukungan luas di dunia maya juga sangat besar.
Akan tetapi, kendati dukungan begitu melimpah ruah di dunia, tetapi di jalanan dukungan itu tidak terlalu signifikan. Sebagian besar facebooker dan tweeple (pengguna twitter), yang juga sebagian besar klas menengah, hanya sanggup bergerak di dunia maya.
Benar, jejaring sosial punya signifikansi dalam kampanye dan penggalangan isu. Hanya saja, aktivitas dunia maya (klik, update status, share) belum tentu bisa mengubah keadaan. Tetap saja gerakan sosial di dunia maya itu butuh aksi konkret di dunia nyata.
Internet, sengaja atau tidak, telah memprivatisasi kehidupan politik. Banyak orang mempercayai bahwa mensirkulasikan berbagai statemen, kronologis, atau manifesto untuk orang lain di jejaring sosial adalah aksi politik. Akhirnya, mereka mengabaikan pentingnya aksi politik di dunia nyata: aksi ke sasaran-sasaran kekuasaan, konfrontasi, penggalangan massa rakyat, dan seterusnya.
Kita pun melihat fenoma politik waktu luang. Aktualisasi politik sekedar untuk mengisi waktu luang. Jadinya, kelihatan seperti aji-mumpung: mumpung ada waktu, ia melontarkan kritik via update status atau comment. Ini adalah gaya berpolitik klas menengah, yang terpisah dan kehilangan kontak dengan realitas dan massa luas.
‘Pengkultusan’ terhadap peran internet dalam sejumlah perubahan sosial di ‘Arab Spring”, khususnya di Tunisia dan Mesir, telah mengabaikan fakta: gerakan revolusioner di Mesir, juga Tunisia, tidak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar jikalau tidak ada pengorganisiran massa, propaganda massif, pengorganisiran rakyat, pembuatan panggung-panggung protes, dan seterusnya.
Di negara-negara yang sangat represif, seperti Mesir dan Tunisia, jejaring sosial memang bisa berperan penting dalam mempublikasikan aksi publik, menggalang solidaritas, dan mengorganisir protes. Akan tetapi, di negera yang sangat liberal seperti Indonesia, kontak langsung dengan massa justru menjadi sangat penting.
Lagi pula, jejarang sosial bisa sangat berguna bagi gerakan sosial, tapi ia tidak dapat diandalkan untuk melakukan revolusi; ia dapat memberi informasi, mengorganisir forum debat, dan menyerukan mobilisasi, tetapi ia tidak dapat menyediakan kepemimpinan dan organisasi untuk memastikan aksi politik sampai pada perebutan (bukan sekedar menggulingkan) kekuasaan.
Oleh karena itu, di tengah ‘kegentingan’ negara kita akibat korupsi, dan terutama sekali akibat eksploitasi neoliberal, sangat diharapkan adanya tindakan dan aksi politik yang konkret: protes besar-besaran, pawai akbar, rapat akbar, konfrontasi di pusat kekuasaan, dan lain-lain.
Melansir data Socialbakers.com, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta pengguna. Sedangkan pengguna Twitter di Indonesia mencapai 19,5 juta akun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, jejaring sosial memang potensial sebagai media propaganda dan meluaskan perlawanan.
Akan tetapi, dunia maya bukanlah arena perjuangan sosial sesungguhnya, melainkan di dunia nyata. Korupsi tidak akan berhenti kalau cuma dikecam, tetapi memerlukan adanya aksi politik untuk menghancurkan sistim ekonomi-politik yang telah memungkinkan terjadinya korusi.
Sudah tiba saatnya protes dan kemarahan di dunia maya dimanifestasikan di dunia nyata. Sudah tiba saatnya pula kaum militan di dunia maya menjalin kontak dengan realitas dan massa rakyat.
Ref : BO
Soal Mutu Pendidikan Nasional
Pada tanggal 27 Januari 2012 lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah.
Dalam ketentuan baru ini, syarat kelulusan bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 adalah publikasi karya ilmiah; Sarjana (jurnal ilmiah), Magister (jurnal ilmiah nasional), dan Doktor (jurnal ilmiah internasional).
Ide di balik proyek ini adalah perbaikan kualitas. Maklum, dalam soal publikasi karya ilmiah dan hasil penelitian, kiprah dunia akademis Indonesia terbilang rendah. Dengan program ini, diharapkan terjadi peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
Kami tentu saja mendukung ide-ide untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi, supaya program semacam itu tidak sekedar gembar-gembor belaka, maka kami memunculkan pertanyaan: apakah publikasi karya ilmiah bisa menjadi ‘patokan’ yang tepat untuk mengukur kualitas lulusan perguruan tinggi?
Bagi kami, publikasi karya ilmiah adalah hasil akhir dari proses pendidikan. Sebetulnya, bagi kami, jika mau memperbaiki kualitas pendidikan, maka tekanan perhatian pemerintah mestinya pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri: dukungan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, dan kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan.
Pasalnya, kalau sekedar bertumpu pada publikasi karya ilmiah, kami rasa tidak ada jaminan untuk mencegah terjadinya praktek manipulasi: jual-beli artikel/karya ilmiah, plagiarisme, dan lain-lain. Sekarang ini, misalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi praktek jual beli ijazah, karya ilmiah, jual-beli nilai, dan lain-lain.
Dengan demikian, kalaupun ada standarisasi berupa karya ilmiah, hal itu tidak akan berguna jikalau kualitas tenaga pengajar dan peserta didiknya tidak bermutu. Tidak mungkin berharap mahasiswa-mahasiswa itu bisa menulis dan menuangkan gagasan ilmiah, apabila mereka memang tidak punya kapasitas untuk itu.
Ada baiknya tekanan pemerintah diarahkan pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri: penyediaan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, dan kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan peserta didik.
Nah, di sinilah masalahnya: infrastruktur pendidikan kita belum memadai. Banyak perguruan tinggi yang belum punya laboratorium, perpustakaan, pusat penelitian, pusat informasi, dan lain-lain. Bahkan, untuk penyediaan literatur, kampus-kampus di Indonesia masih kekeringan.
Begitu juga dengan metode pendidikan dan kurikulum. Kalau dunia pendidikan masih dikuasai neoliberalisme, maka sulit berbicara metode pendidikan yang emansipatoris dan partisipatoris, juga kurikulum yang berkualitas dan mencerdaskan.
Hal itu penting, seperti dikatakan oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam karyanya “Schooling in Capitalist America”, pendidikan di bawah kapitalisme akan bersifat imperative dengan tujuan klas kapitalis: kebutuhan produksi dan akumulasi.
Menurut Samuel Bowles dan Herbert Gintis, model kerja dalam sistim pendidikan kapitalis juga akan mengacu relasi produksi kapitalis. Dalam pandangan ini, bentuk-bentuk kesadaran dan perilaku yang dipupuk dalam sekolah kapitalis dirancang untuk mereproduksi klas yang sudah ada dan pengelompokannya.
Dengan demikian, sistim pendidikan kapitalis akan menolak berkembangnya gagasan yang mempertanyakan atau menolak gagasan sistim kapitalisme. Sistim pendidikan kapitalis akan memberangus fikiran-fikiran kritis dan emansipatoris. Yang dikembangkan dalam pendidikan kapitalis adalah kesadaran ‘mengabdi kepada sistim’: mencari pekerjaan yang bagus, menemukan teknologi yang bisa dijual, dan lain sebagainnya.
Jadinya, keluaran sekolah kapitalis adalah sejenis manusia—meminjam istilah Soe Hok Gie—seperti kerbau yang gampang ditarik atau dibawa-bawa kemana-mana tergantung tuannya menghendaki.
Dengan demikian, dalam sekolah kapitalis, tingkat kemampuan siswa yang diperlukan dan jenis pengetahuan mereka distandarisasi menurut keperluan mendesak dunia pasar tenaga kerja. Akhirnya, sekolah yang diutamakan adalah yang bersifat kejuruan dan terspesialisasi. Kurikulum, mata kuliah, dan jenis jurusan pun akan disusun sesuai dengan keperluan pasar tenaga kerja.
Padahal, seperti dikatakan ekonom besar Amerika, John Kenneth Galbraith, ‘manusia dunia ketiga mestinya lebih dulu menerima pendidikan umum, khususnya ilmu sosial, sebelum memasuki sekolah kejuruan’. Sebab, kata Galbraith, orang miskin memerlukan pendidikan umum untuk memahami relasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang menyebabkan mereka miskin.
Karena itu, bagi kami, pembicaraan soal pendidikan bukan sekedar pada soal kuantitas dan kualitas, tetapi juga soal fungsi sosialnya: pendidikan harus memanusiakan-manusia, berkontribusi pada kemanusiaan, dan berguna dalam pembangunan bangsa dan negara. Kita perlu belajar kembali mengenai konsep-konsep pendidikan progressif yang sudah diperkenalkan pendiri bangsa, seperti konsep Ki Hajar Dewantara dan Tan Malaka.
menurut : Jusuf Soewadi
09.31
on 5 Februari 2012
Surat edaran Dikti no 152/E/T/2012
tkl 27 Januari 2012 terkait dengan publikasi karya ilmiah, sebagai syarat
kelulusan mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3, memang tidak akan bisa
memeberbaiki atau meningatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Surat edaran
ini paling-paling hanya sebatas bisa mengurangi (tidak signifikan) pemalsuan,
plagiat yang selama ini memang banyak dilakukan oleh mahasiswa program s1 s/d
s3 dalam membuat skripsi, thesis atau disertasinya. Surat edaran tersebut tentu
bermaksud untk memperbaiki sistim pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di
Indonesia. Masalahnya adalah bahwa sistim pendidikan kapitalis komprador yang ingin
diterapkan oleh pemerintah semenjak orde baru akan selalu menghadapi dilema:
1. apabila ingin mengaplikasikan sistim pendidikan kapitalis akan mendapatkan gangguan dari para birokrat (komprador) dan perlawanan dari rakyat kecil yang tidak mendapatkan faedahnya
2. apabila ingin mengaplikasikan sistim pendidikan yang mengabdi pada kepentingan rakyat kecil, pasti tidak akan mendapat restu dari kapitalis. Di Indonesia sekarang ini semua perubahan, termasuk perubahan pendidikan masih lebih banyak ditentukan oleh kapitalis (asing).
Paling tidak surat edaran ini bsa menjadi proyek baru bagi para birokrat…..lumayan kan?
1. apabila ingin mengaplikasikan sistim pendidikan kapitalis akan mendapatkan gangguan dari para birokrat (komprador) dan perlawanan dari rakyat kecil yang tidak mendapatkan faedahnya
2. apabila ingin mengaplikasikan sistim pendidikan yang mengabdi pada kepentingan rakyat kecil, pasti tidak akan mendapat restu dari kapitalis. Di Indonesia sekarang ini semua perubahan, termasuk perubahan pendidikan masih lebih banyak ditentukan oleh kapitalis (asing).
Paling tidak surat edaran ini bsa menjadi proyek baru bagi para birokrat…..lumayan kan?
Ref : www.berdikarionline.com
Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
Konstitusi bangsa Indonesia, UUD 1945, yang dilahirkan dalam suasana revolusi nasional, punya cita-cita besar untuk memakmurkan dan mengadilkan seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita besar itu termaktub di pembukaan (preambule) dan batang tubuh (pasal-pasal) di dalam UUD 1945.
Salah satu yang dijamin oleh UUD 1945, sekaligus tugas dan tanggung jawab negara, adalah pemenuhan hak dasar rakyat: pendidikan, pekerjaan, kesehatan, perumahan, dan penghidupan yang layak. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak dasar rakyat itu adalah hak konstitusional warga negara. Artinya, jika penyelenggara negara (pemerintah) tidak memenuhi hak-hak dasar tersebut, maka pemerintahan itu telah melakukan tindakan inkonstitusional.
Dalam pidato 1 Juni 1945—sering disebut lahirnya Pancasila, Bung Karno juga menegaskan soal masa depan yang hendak dituju oleh Indonesia merdeka: kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna.
Artinya, baik di dalam UUD 1945 maupun Pancasila, tuntutan perwujudan kesejahteraan sosial merupakan prasyarat paling dasar untuk mewujudkan manusia Indonesia yang adil dan makmur itu. Selain itu, dalam rangka mencapai tujuan itu, para pendiri bangsa juga sudah menggariskan sistim politik dan ekonomi yang sejalan dengan pencapaian cita-cita di atas.
Akan tetapi, sejak orde baru sampai sekarang ini, pemerintah tidak lagi menghiraukan tugas konstitusionalnya untuk menjamin hak-hak dasar rakyat. Apalagi sekarang ini, di bawah kepemimpinan SBY-Budiono, hak-hak dasar rakyat justru dihancurkan dengan berbagai paket kebijakan neoliberal.
Dalam lapangan pendidikan, pemerintahan SBY sedang berjuang keras untuk memastikan agenda privatisasi pendidikan berjalan sesuai dengan kehendak Bank Dunia dan negeri-negeri imperialis. Bahkan, jika tidak ada halangan, pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RUU Perguruan Tinggi. Semangat utama RUU PT itu sangat pro-privatisasi pendidikan.
Di bidang kesehatan, layanan yang bersifat sosial ini secara perlahan-lahan diarahkan kepada mekanisme pasar. Di hampir semua daerah, terjadi perubahan status dari RSUD menjadi badan layanan umum (BLU). Konsep BLU sebetulnya sudah mengarah pada privatisasi (semi-privatisasi). Dengan konsep BLU, setiap rumah sakit berhak mengatur rumah tangga sendiri, termasuk dalam urusan keuangan. Akibatnya, setelah berubah status menjadi BLU, banyak rumah sakit yang menaikkan biaya rumah sakit.
Pemerintah juga gagal menyediakan pekerjaan dan jaminan penghidupan yang layak. Sekarang ini, rakyat kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Fakta juga menunjukkan: lebih dari 70% rakyat Indonesia bekerja di sektor informal. Artinya, negara tidak berbuat apapun untuk menyediakan pekerjaan. Sebaliknya, pemerintah—dengan kebijakan neoliberalnya—berkontribusi pada terjadinya PHK massal dan meluasnya pengangguran.
Negara gagal menjamin hak-hak konstitusional rakyat. Penyebabnya, antara lain, karena negara tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan Pancasila. Dalam praktek kebijakan ekonomi dan politik, penyelenggara negara justru menganut sistim ekonomi-politik yang berbau neokolonialisme: neoliberalisme. Di sini, proses pembangunan nasional, juga pembangunan manusia Indonesia, tidak bertumpu pada kehendak dan kebutuhan rakyat, tetapi kepentingan dari luar: imperialisme.
Padahal, ketika UUD 1945 dan Pancasila disusun, para pendiri bangsa sudah mengisyaratkan agar “Indonesia merdeka” tidak mengadopsi sistim demokrasi liberal dan sistim ekonomi dari barat. Sebab, sistim demokrasi liberal dan sistim ekonomi kapitalisme, di mata para pendiri bangsa, tidak sesuai dengan cita-cita nasional Indonesia untuk menciptakan kemakmuran bersama.
Pemerintah sudah menghianati Pancasila dan UUD 1945. Akibat penghianatan itu, mayoritas rakyat pun kesulitan mengakses kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia pula, khususnya yang paling dirugikan oleh pengkhianatan pemerintah itu, untuk merebut kembali hak-hak konstitusional: pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, penghidupan layak, dan lain-lain.
Ref :> www.berdikarionline.com
Langganan:
Postingan (Atom)
INGIN DOMAIN GRATIS 100% , -.COM-.NET-.ORG
Arsip Blog
-
▼
2012
(53)
-
▼
Februari
(53)
- Ketika Sandal Tak Lagi Diperlukan
- Mulut Mu, Laboratorium Ku
- Jika Negara Tanpa Trotoar
- Membuang Cat Di Atas Aspal
- Keselamatan Pengendara Bergantung Pada Iklan
- Lahan Parkir Gratis, Stok Terbatas!
- Bencana Banjir Dan Pentingnya Kanal
- Berbagi Sarapan Sampah, Mau-?….
- Pemakaman, Tak Jauh Beda Dengan TPS
- Buanglah Sampah Seenaknya
- Anak Jalanan Aset Negara-?
- Bangsaku Bukan Pemalas Melainkan Pekerja Keras
- Kaya Dan Miskin
- Miskin Dan Becak Tua
- Tidak akan ada lagi Sebutan “ANAK HARAM”
- Presiden RI telah melanggar UUD 1945, terkait peng...
- Orang Bijak Mengatakan "Mundur Lebih Baik dari pad...
- Kesucian Terusik Batu yang Menangis
- Rakyat Butuh Pemimpin Tegas Bukan Bergaya Militer
- Desakan Pembubaran Front Pembela Islam (FPI)
- Ujar Habib Selon : Silakan Hukum Anggota Ane, FPI ...
- Alasan Mengapa Polri Menerima Duit dari Freeport?
- Rasa Keadilan yang Hilang ditanah Papua
- Jangan 'Beli Kucing dalam Karung' di Pilpres 2014
- SBY Sentil Amerika
- Manipulator Keuangan Dunia_"AS Tidak Takut dengan ...
- Pembatasan BBM Bersubsidi "Menghemat dana APBN"
- Mendagri - Bikin Ormas Seperti Bikin Martabak Telor
- Rakyat Miskin Tanggung utang senilai Rp. 7,5 Juta ...
- SRMI Makassar Tolak Ruislag SD Gaddong
- Malapetaka Swastanisasi Air Di Makassar
- Merdeka Di Mata Rakyat
- Kenapa Perlu Mendukung Gerakan Pasal 33
- Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali Ke Pasal 33 UUD...
- Krisis Kapitalisme Dan Dampaknya Di Indonesia
- Tentang ‘Gerakan Pasal 33’
- Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945
- Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa
- Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Solusi Krisis Kapitalism...
- “Slim Is Beautiful”: Antara Konstruksi Budaya Dan ...
- Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
- Cerita Seorang Perempuan Tua
- Perempuan Perlu Membangun Organisasi Massa
- Bung Karno Dan Gerakan Wanita
- Bung Karno Dan Kenangan Di Ende
- Dunia Maya Dan Gerakan Sosial Anti-Korupsi
- Tari Adinda: Musikku Adalah Suara Kaum Tertindas
- Nicolas Maduro, Sopir Bus Jadi Menteri Luar Negeri
- Soal Mutu Pendidikan Nasional
- Bung Karno Dan Empat Strategi Melawan Imperialisme
- Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Liberalisasi Sekt...
- Gerakan Konstitusional Merebut Hak-Hak Dasar
- Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme
-
▼
Februari
(53)